
RI News Portal. Manado, 6 Oktober 2025 – Dalam langkah dramatis yang berpotensi mengganggu mobilitas ribuan warga Sulawesi Utara, Imelda Orlyn Sepang dan Sandi Kaunang, sebagai ahli waris tanah keluarga, mengumumkan penutupan ruas jalan SBY yang melintasi lahan milik mereka di Kabupaten Minahasa Utara. Pengumuman ini disampaikan pada Senin pagi ini, dengan alasan utama ketidakadilan dalam proses ganti rugi dari pemerintah daerah yang telah berlarut-larut sejak 2021.
Imelda Orlyn Sepang menekankan bahwa tindakan ini bukanlah keputusan impulsif, melainkan upaya pemulihan hak atas tanah warisan orang tua mereka. “Kami meminta maaf kepada seluruh pengguna jalan, rakyat Sulawesi Utara, khususnya masyarakat Minahasa Utara. Namun, lahan ini milik kami sebagai ahli waris, dan pemerintah belum pernah melakukan transaksi pembayaran ganti rugi,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa penutupan akan dimulai dari titik perbatasan milik keluarga Rumuat, dengan pelepasan sekitar 10 unit dump truck berisi material batu untuk menimbun ruas jalan tersebut sesuai batas tanah mereka.
Sandi Kaunang, yang juga terlibat sebagai ahli waris, menyebut akses jalan SBY sebagai infrastruktur vital yang menghubungkan berbagai wilayah penting di Minahasa Utara. Meski demikian, ia menilai insiden ini sebagai pelajaran berharga bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Minahasa Utara. “Pemerintah harus memperhatikan tiga tanggung jawab prinsipal aparat tata usaha negara dalam bertindak atau tidak bertindak,” katanya, merujuk pada prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang menekankan kewajiban pemerintah untuk bertanggung jawab secara hukum, etis, dan prosedural. Kaunang mengkritik lambatnya proses, di mana data dari Pemkab dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Minut tidak pernah sinkron meski telah dua kali rapat bersama Sekretaris Daerah (Sekda) dan pihak BPN.

Konflik ini bukan yang pertama; pada 2021, mereka sempat menutup jalan yang sama akibat upaya paksa dari pihak prinsipal dan aliansi ormas, meski pembayaran ganti rugi saat itu juga tidak kunjung terealisasi. Kaunang menyoroti bukti kepemilikan tanah sepanjang 60 meter, didukung gambar situasi tanah warisan sejak 1971. “Hanya 500 meter yang ingin kami buktikan, tapi kenapa begitu susah? Miris jika BPN cepat membuat Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk 3 hektar tanah lain, tapi lambat untuk hak kami,” tanyanya retoris, menyiratkan dugaan ketidakadilan dalam penanganan birokrasi pertanahan.
Pihak ahli waris juga secara terbuka meminta intervensi tingkat pusat. Mereka mendesak Kepala BPN Yandri untuk melakukan pengukuran langsung di lokasi, serta mengajukan tuntutan kepada Presiden RI Prabowo Subianto, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, dan Kapolda Sulawesi Utara Irjen Pol Royke Harry Langie. “Segera usut tuntas masalah di BPN dan Pemkab Minut. Sesuai janji Presiden, siapa pun dalang mafia tanah harus ditangkap,” tegas Kaunang. Tindakan ini mencerminkan keresahan lebih luas atas praktik mafia tanah yang sering kali melibatkan manipulasi data dan kelalaian aparat, sebagaimana diakui dalam berbagai kasus serupa di daerah lain.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi dari Pemkab Minahasa Utara atau BPN terkait ancaman penutupan. Namun, kasus ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak sosial-ekonomi, mengingat jalan SBY merupakan arteri utama yang mendukung aktivitas harian masyarakat setempat. Dari perspektif hukum, tindakan penutupan akses jalan oleh pemilik lahan bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum jika menghalangi hak publik, sesuai Pasal 1365 KUH Perdata, meski hak guna tanah pribadi tetap harus dihormati jika dibuktikan secara sah.
Kasus ini juga menyoroti urgensi reformasi birokrasi pertanahan di tingkat daerah, di mana prinsip transparansi dan akuntabilitas sering kali terabaikan. Para ahli hukum administrasi menilai bahwa pemerintah daerah wajib mematuhi kewajiban ganti rugi untuk mencegah konflik serupa, sebagaimana diamanatkan dalam regulasi tata usaha negara. Tanpa penyelesaian cepat, potensi eskalasi menuju demonstrasi massal atau intervensi polisi tidak bisa diabaikan, mengingat riwayat konflik tanah di Sulawesi Utara yang kerap berujung pada ketegangan sosial.
Pihak berwenang diimbau untuk segera mediasi, memastikan pengukuran tanah dilakukan secara independen dan pembayaran ganti rugi diprioritaskan. Hanya dengan dialog inklusif, konflik ini dapat diselesaikan tanpa mengorbankan kepentingan publik maupun hak pribadi.
Pewarta : Marco Kawulusan
