
RI News Portal. Jakarta, 4 Oktober 2025 – Menteri Agama Nasaruddin Umar mendorong pesantren untuk mengembangkan tradisi intelektual kritis berbasis turats melalui pendekatan multidisipliner, mencakup semantik, filologi, hingga antropologi. Langkah ini dianggap penting agar khasanah klasik Islam tetap hidup dan relevan dengan tantangan zaman.
“Tidak semua kitab kuning bisa disebut turats. Kitab turats adalah karya ulama mumpuni yang menghayati filosofi dasar Al Quran dan hadis, serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Menag Nasaruddin saat membuka Halaqah Internasional bertema Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/10).
Dalam pandangannya, tradisi iqra’ (baca) dalam Islam harus dipahami secara komprehensif, sebagaimana diperintahkan Al Quran. Nasaruddin menjelaskan, ada tiga objek utama bacaan bagi seorang Muslim, khususnya santri: alam semesta (makro kosmos), ayat-ayat yang merasuk dalam diri manusia (mikro kosmos), dan kitab suci Al Quran sebagai wahyu.

“Iqra’ tidak hanya melafalkan huruf, tetapi juga menghimpun. Seperti pohon yang menghimpun akar, batang, daun, dan buah, manusia adalah himpunan sempurna yang mencerminkan makro kosmos,” katanya, merujuk pandangan Ibnu Arabi bahwa manusia adalah cerminan sejati makro kosmos, bukan sekadar alam semesta.
Namun, ia menegaskan bahwa pesantren tidak boleh terpaku pada bacaan tekstual semata. Al Quran, menurut Nasaruddin, bukan hanya kitabullah (petunjuk universal), tetapi juga kalamullah (firman Allah) yang menuntut ketaqwaan dan kedalaman spiritual untuk memahaminya. “Jangan bangga hanya karena hafal atau mampu menafsirkan Al Quran. Ada lapisan terdalam, yaitu haqaiq Al Quran,” ujar Imam Besar Masjid Istiqlal itu.
Ia memaparkan empat tingkatan bacaan Al Quran: teks Al Quran, isyarat Al Quran, lathaif Al Quran, dan haqaiq Al Quran. Pendekatan ini, menurutnya, harus diperkaya dengan kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan ekologis, dengan turats sebagai fondasi epistemologis. “Membaca Al Quran berarti membaca alam, membaca diri, lalu mengkonfirmasikan semuanya dengan wahyu. Ini adalah tradisi ilmiah pesantren yang harus terus dikembangkan,” tegasnya.
Baca juga : PWI Pusat 2025-2030: Membangun Ekosistem Pers Nasional yang Sehat dan Digital
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, Amien Suyitno, menyoroti pentingnya kontekstualisasi maqashid al-syariah agar agama tetap relevan. Ia mencontohkan bab thaharah dalam fikih, yang sering dipahami secara sempit. “Menjaga air adalah bagian dari thaharah. Ini berarti menjaga kebersihan dan lingkungan juga merupakan ibadah. Inilah ekoteologi berbasis turats,” ujarnya.
Suyitno menambahkan, pesantren memiliki peran strategis dalam melahirkan fikih yang responsif terhadap isu modern, termasuk krisis lingkungan. “Halaqah ini diharapkan melahirkan gagasan yang menjadi rujukan kebijakan publik, dengan turats sebagai fondasi dan realitas sebagai ladang praksis,” katanya.
Halaqah Internasional ini menjadi momentum untuk memperkuat peran pesantren sebagai pusat pengembangan intelektual Islam yang dinamis, responsif, dan berpijak pada nilai-nilai klasik sekaligus kontekstual.
Pewarta : Setiawan Wibisono
