
RI News Portal. Jakarta, 1 Oktober 2025 – Di tengah dinamika hukum yang sedang berlangsung, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menegaskan bahwa seluruh operasionalnya tetap berjalan normal menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Putusan ini, yang dikeluarkan melalui Nomor 96/PUU-XXII/2024, menuntut penataan ulang ketentuan-ketentuan kunci dalam undang-undang tersebut agar lebih selaras dengan prinsip konstitusional, khususnya keadilan sosial dan perlindungan bagi kelompok rentan.
Putusan MK ini muncul sebagai respons terhadap gugatan yang menyoroti potensi ketidakadilan dalam mekanisme pengelolaan dana perumahan rakyat. MK menekankan perlunya harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, memberikan batas waktu maksimal dua tahun bagi pembuat undang-undang untuk merevisinya. Hal ini mencerminkan komitmen konstitusi Indonesia terhadap akses perumahan yang inklusif, di mana negara bertanggung jawab memastikan hak dasar warga atas hunian layak tanpa membebani secara tidak proporsional.
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, dalam pernyataan resminya di Jakarta, menyatakan bahwa lembaganya menghormati sepenuhnya keputusan MK. “Kami memandangnya sebagai momentum penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas desain kelembagaan dan mekanisme operasional Tapera,” katanya. Heru menambahkan bahwa selama masa transisi, semua kegiatan seperti pengelolaan dana, layanan peserta, dan hak-hak yang telah ada akan terus dijalankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendekatan ini, menurut Heru, bertujuan untuk menjaga kepercayaan publik sambil memastikan transparansi dan akuntabilitas. “Yang paling penting adalah menjaga kepercayaan masyarakat. BP Tapera berkomitmen memastikan pengelolaan dana tetap transparan, akuntabel, dan aman selama masa transisi dua tahun sebagaimana ditetapkan MK,” tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi peran BP Tapera sebagai penjaga stabilitas sistem perumahan nasional, di mana dana masyarakat dikelola dengan prinsip kehati-hatian untuk menghindari risiko penyalahgunaan.
Dalam konteks yang lebih luas, putusan MK ini bisa dilihat sebagai katalisator reformasi struktural di sektor perumahan. UU Tapera awalnya dirancang untuk mengumpulkan iuran dari pekerja dan pemberi kerja guna membiayai program hunian terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, kritik yang muncul menyoroti potensi beban tambahan bagi pekerja informal atau kelompok marjinal, yang mungkin tidak sebanding dengan manfaat yang diterima. MK menilai bahwa penataan ulang diperlukan untuk memastikan prinsip keadilan sosial—sebuah pilar utama dalam Pancasila—teraplikasi secara konkret, termasuk melalui mekanisme yang lebih inklusif dan bebas dari ambiguitas hukum.
Heru menegaskan bahwa tujuan inti BP Tapera tetap tidak berubah: menyediakan hunian layak dan terjangkau bagi masyarakat luas, tanpa menambah beban bagi pekerja maupun pemberi kerja. Untuk mencapai hal ini, BP Tapera berencana berkoordinasi intensif dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) serta stakeholders terkait. Koordinasi ini diharapkan menghasilkan desain operasional yang lebih adaptif, selaras dengan arahan MK, sambil mempertahankan efisiensi program.
Baca juga : Refleksi Hari Kesaktian Pancasila: Ujian Kesaktian di Tengah Hegemoni Global dan Tantangan Internal
Salah satu aspek krusial yang tetap dijaga adalah program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Heru menyampaikan bahwa BP Tapera akan terus mengoptimalkan dana FLPP untuk memfasilitasi MBR dalam memperoleh hunian yang layak. Program ini, yang telah menjadi tulang punggung subsidi perumahan bagi kelompok rentan, dianggap vital untuk mengurangi kesenjangan akses hunian di Indonesia, di mana jutaan warga masih menghadapi tantangan keterjangkauan rumah.
Menariknya, Heru juga mengklarifikasi bahwa hingga kini, BP Tapera belum melakukan penghimpunan tabungan baik secara wajib maupun sukarela. Hal ini menunjukkan pendekatan hati-hati lembaga tersebut dalam menghadapi transisi hukum, menghindari langkah-langkah yang bisa menimbulkan kontroversi sebelum penataan ulang selesai. Klarifikasi ini penting untuk meredam kekhawatiran publik, terutama di kalangan pekerja yang mungkin khawatir atas potensi pemotongan gaji otomatis.
Secara keseluruhan, respons BP Tapera terhadap putusan MK ini mencerminkan kematangan institusional dalam menghadapi perubahan regulasi. Di era di mana keadilan sosial semakin menjadi tuntutan masyarakat, reformasi seperti ini bisa menjadi model bagi lembaga publik lainnya. Dengan masa transisi dua tahun, ada peluang untuk mendesain ulang Tapera menjadi instrumen yang lebih efektif dalam mewujudkan cita-cita konstitusi: perumahan sebagai hak dasar bagi setiap warga negara, bukan sekadar komoditas ekonomi. Pembaca diharapkan terus memantau perkembangan ini melalui update resmi dari BP Tapera dan MK, guna memahami implikasi jangka panjang bagi kebijakan perumahan nasional.
Pewarta : Albertus Parikesit
