
RI News Portal. Jakarta 30 September 2025 – Di tengah eskalasi konflik yang tak kunjung usai di Timur Tengah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kembali menegaskan posisinya yang teguh dalam mendukung hak-hak rakyat Palestina. Dalam Sidang Ke-60 Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyampaikan pidato yang menyoroti akuntabilitas sebagai fondasi utama untuk mencapai solusi dua negara yang berkelanjutan. Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan komitmen diplomatik Indonesia, tetapi juga menggarisbawahi pendekatan akademis terhadap isu hak asasi manusia (HAM) dalam konteks hukum internasional.
Pernyataan Mugiyanto pada Senin (29/9) waktu setempat, yang diterima di Jakarta pada Selasa, menekankan bahwa “masa depan solusi dua negara bergantung pada seberapa teguh kita menegakkan akuntabilitas hari ini.” Ini bukan sekadar retorika diplomatik; secara akademis, konsep akuntabilitas di sini merujuk pada prinsip-prinsip Konvensi Jenewa dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, di mana pelanggaran sistematis terhadap warga sipil harus diadili untuk mencegah siklus kekerasan berulang. Indonesia, sebagai negara dengan sejarah panjang dukungan terhadap Palestina—sejak era Presiden Soekarno hingga kini—melihat akuntabilitas sebagai alat untuk memutus rantai impunitas yang telah membiarkan konflik ini berlarut-larut selama puluhan tahun.

Pidato tersebut menggemakan sikap Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan sebelumnya dalam Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Palestina dan Solusi Dua Negara di Markas PBB, New York, pada 22 September. Presiden Prabowo mengecam apa yang disebutnya sebagai “genosida militer Israel di Gaza,” sebuah istilah yang semakin sering muncul dalam diskursus akademis tentang konflik ini, meskipun tetap kontroversial di arena internasional. Komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel hidup berdampingan secara damai, bukanlah hal baru. Namun, dalam konteks saat ini, pernyataan ini memperkuat argumen bahwa perdamaian sejati memerlukan penegakan hukum internasional yang adil, bukan sekadar bantuan kemanusiaan sementara.
Mugiyanto lebih lanjut mengkritik serangan tanpa henti terhadap rakyat Palestina dan agresi terhadap negara berdaulat lain sebagai “penodaan total terhadap fondasi hukum internasional.” Dari perspektif studi HAM, ini menyinggung konsep “pendudukan ilegal” yang telah dibahas dalam berbagai resolusi PBB, termasuk Advisory Opinion Mahkamah Internasional (ICJ) baru-baru ini yang mendesak akhir pendudukan Israel di wilayah Palestina. Keprihatinan mendalam atas penderitaan rakyat Palestina—di mana hak dasar mereka dirampas di tanah air sendiri—dihubungkan dengan laporan badan-badan PBB tentang malnutrisi akut dan ancaman kelaparan di Gaza Utara. Kondisi ini, menurut analisis akademis, bukan hanya krisis kemanusiaan, melainkan hasil dari blokade berkepanjangan yang melanggar prinsip proporsionalitas dalam hukum perang.
Lebih jauh, Wakil Menteri menyoroti dampak psikososial pada generasi muda Palestina, di mana anak-anak tumbuh di tengah perang dan terjebak dalam lingkaran ketakutan serta kebencian. Pendekatan ini selaras dengan kerangka teori trauma kolektif dalam studi konflik, yang menunjukkan bagaimana kekerasan struktural memperpetuasi instabilitas regional. “Mengurangi bencana kemanusiaan dan melindungi warga sipil harus menjadi yang utama,” ujar Mugiyanto, seraya menyerukan perlindungan bagi pekerja kemanusiaan yang sering menjadi korban dalam konflik ini.
Baca juga : Tragedi di Dekat Piramida Giza: Dua WN China Tewas dalam Tabrakan Beruntun
Meskipun pengiriman bantuan kemanusiaan penting, Mugiyanto menegaskan bahwa akuntabilitas adalah “palu” yang dapat memutus rantai penderitaan. Ini merupakan panggilan untuk mekanisme penegakan hukum global, seperti investigasi independen oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB, yang telah mendokumentasikan pelanggaran di Gaza. Indonesia berkomitmen untuk terus memperjuangkan isu ini melalui forum multilateral, mencerminkan peranannya sebagai aktor non-blok yang aktif dalam diplomasi HAM.
Dalam lanskap media online yang sering kali terfokus pada berita sensasional, pendekatan ini menawarkan perspektif akademis yang lebih dalam: akuntabilitas bukan hanya alat politik, melainkan prasyarat etis untuk perdamaian berkelanjutan. Dengan demikian, pernyataan Indonesia di Jenewa tidak hanya memperkuat solidaritas global dengan Palestina, tetapi juga mendorong diskusi intelektual tentang reformasi sistem internasional di era pasca-kolonial.
Pewarta : Setiawan Wibisono
