
RI News Portal. Jakarta, 30 September 2025 – Di tengah tuntutan global akan material ramah lingkungan, Indonesia semakin serius menggarap potensi bambu sebagai pilar baru industri nasional. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus menggalakkan pengembangan ekosistem bambu yang holistik, mulai dari hulu seperti penanaman dan riset bibit hingga hilir berupa produk jadi bernilai tinggi. Inisiatif ini tidak hanya bertujuan menambah nilai ekonomi, tetapi juga memperkuat peran bambu sebagai agen konservasi alam, sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan bahwa bambu bukan sekadar tanaman tradisional, melainkan aset strategis dengan prospek luas. “Industri bambu dalam negeri memiliki peluang terutama pada sektor kerajinan, furnitur, konstruksi, hingga bioindustri,” katanya dalam pernyataan di Jakarta pada 29 September 2025. Pernyataan ini mencerminkan visi jangka panjang di mana bambu bisa menjadi pengganti material konvensional yang boros sumber daya, seperti kayu atau plastik, sambil mendukung target net-zero emission nasional.
Dari perspektif akademis, pengembangan ini selaras dengan teori ekonomi sirkular, di mana sumber daya alam dieksploitasi secara efisien tanpa mengorbankan ekosistem. Bambu, dengan siklus pertumbuhan cepat hingga 1-2 meter per hari, menawarkan solusi regeneratif yang minim dampak karbon. Namun, tantangan tetap ada, sebagaimana diungkap dalam kunjungan kerja Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) baru-baru ini.

Dalam kunjungannya, Putu menyoroti potensi besar Indonesia sebagai produsen bambu, tapi dibayangi oleh kendala struktural seperti ketersediaan bahan baku, rantai pasok yang terfragmentasi, dan kurangnya kompetensi sumber daya manusia (SDM). “Permintaan global terhadap produk bambu bernilai tambah terus meningkat pesat,” jelas Putu. Sebagai contoh, ekspor lantai kontainer berbahan bambu mencapai permintaan 1.500 meter kubik per bulan, sementara kapasitas produksi domestik baru menyentuh 30 meter kubik. Kesenjangan ini, menurut analisis ekonomi, bisa menjadi peluang jika didukung investasi tepat, potensial menciptakan ribuan lapangan kerja di sektor pedesaan.
Pasar domestik pun menunjukkan dinamika positif, terutama di sektor konstruksi kawasan wisata. Bangunan berbasis bambu tidak hanya estetis dan tahan gempa, tapi juga ekonomis dengan harga mencapai Rp12 juta per meter persegi dan tingkat pengembalian investasi hanya tiga tahun. Tren ini menggambarkan pergeseran paradigma menuju arsitektur hijau, di mana bambu berfungsi sebagai material carbon-storing yang efektif menyerap CO2, berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Baca juga : Revitalisasi Pengelolaan Museum Indonesia: Membangun Ekosistem Kebudayaan yang Dinamis di Era Digital
Kunjungan Putu ke DIY menjadi jendela nyata ekosistem bambu terpadu. Ia meninjau Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJI-KB), PT Dekor Asia Jayakarya, komunitas Sahabat BambuBoss, kawasan Hutan Bambu Bulaksalak, serta PT Bambu Nusa Verde. Lokasi-lokasi ini menyatukan elemen riset, produksi, edukasi, dan komunitas dalam satu kerangka kolaboratif. Misalnya, penanaman bibit bambu hingga 10.000 unit per tahun melalui agroforestry tidak hanya memastikan suplai berkelanjutan, tapi juga memperkaya biodiversitas lokal.
PT Bambu Nusa Verde, yang telah menjalankan riset bioteknologi sejak 1994, menjadi contoh inovasi akademis dalam praktik. Melalui pendekatan ini, kualitas bibit unggul terjaga, menghasilkan varietas seperti bambu petung dan apus yang secara mekanik lebih superior daripada bambu moso dari Tiongkok. Riset independen mendukung klaim ini, menunjukkan kekuatan tarik dan ketahanan bambu Indonesia yang lebih tinggi, potensial menjadikan negara ini pemasok utama material ramah lingkungan global.
Untuk mewujudkan visi ini, Putu menekankan kolaborasi lintas sektor. “Kami mendorong kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas,” ujarnya. Dukungan regulasi dan insentif investasi sedang disiapkan, termasuk inisiatif pusat logistik bahan baku bambu dan Akademi Komunitas Bambu. Program-program ini dirancang untuk menekan biaya produksi, mempercepat distribusi, dan meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan berbasis teknologi.
Dari sudut pandang akademis, pendekatan ini bisa menjadi model bagi negara berkembang lainnya dalam mengintegrasikan industri dengan konservasi. Bambu tidak hanya menghasilkan nilai ekonomi—dengan potensi ekspor miliaran dolar—tapi juga berkontribusi pada agenda lingkungan global, seperti Paris Agreement. Namun, keberhasilan bergantung pada komitmen jangka panjang, termasuk penelitian lanjutan untuk mengatasi variabilitas iklim yang memengaruhi pertumbuhan bambu.
Kemenperin optimistis, Indonesia bisa menjadi pemimpin di industri bambu dunia. Dengan ekosistem yang semakin matang, bambu bukan lagi simbol tradisi, melainkan katalisator transformasi ekonomi hijau.
Pewarta : Vie
