
RI News Portal. Manado, 25 September 2025 – Di lereng pegunungan Minahasa yang hijau, di balik hiruk-pikuk pasar Tondano dan pelabuhan ramai Bitung, bersemayam sebuah jaringan ilegal yang menggerus fondasi ekonomi lokal: mafia solar bersubsidi. Sepak terjang RR, yang dikenal sebagai Rico, bukan sekadar cerita kriminal biasa, melainkan gejala sistemik dari korupsi rantai pasok energi di Indonesia timur. Dengan dukungan dugaan dari figur berpengaruh seperti Frenli—menantu seorang pengusaha ikan terkemuka di Bitung—operasi ini terus berdenyut, meski janji penegakan hukum bergema kosong.
Sebagai bagian dari upaya investigasi mendalam yang menggabungkan wawancara lapangan dengan analisis data subsidi BBM nasional, laporan ini mengungkap bagaimana Rico tidak hanya mengendalikan gudang penimbunan di kawasan Tondano, tetapi juga memanipulasi alur distribusi di beberapa SPBU Minahasa. Sumber terpercaya di kalangan pelaku usaha lokal menggambarkan skema ini sebagai “jaring laba-laba” yang cerdik: kendaraan-kendaraan yang mengantre panjang di pompa bensin bukanlah konsumen biasa, melainkan bagian dari jaringan komplotan Rico. “Banyak kendaraan yang antri di SPBU merupakan komplotannya Rico,” ungkap salah satu sumber yang enggan disebut namanya, takut akan balasan. Praktik ini memungkinkan pengisapan solar bersubsidi secara massal, yang kemudian dialirkan ke gudang pribadi untuk disalurkan ulang.

Rangkaian operasi Rico mencerminkan pola mafia energi yang lebih luas di Sulawesi Utara, di mana subsidi solar—yang ditargetkan untuk nelayan kecil dan petani—justru menjadi mangsa empuk bagi aktor berkuasa. Solar yang disedot dari SPBU dibawa ke gudang PT Trivena, perusahaan milik Frenli, sebelum dijual kembali dengan harga industri kepada kapal-kapal ikan di Bitung. Harga jual yang melonjak hingga dua kali lipat dari tarif subsidi ini bukan hanya menguntungkan segelintir elit, tetapi juga menciptakan distorsi pasar yang parah.
Dari perspektif ekonomi, kolaborasi ini menimbulkan kerugian kumulatif yang sulit diukur secara presisi, tetapi estimasi awal dari data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa penyelewengan subsidi BBM di wilayah timur Indonesia mencapai miliaran rupiah per tahun. Di Minahasa, dampaknya terasa nyata: nelayan skala kecil sering kali harus membeli solar gelap dengan harga premium, yang pada gilirannya menekan margin keuntungan mereka hingga 30-40 persen. “Masyarakat luas yang sering tidak dapat memenuhi kebutuhan solar,” seperti yang disinggung sumber lapangan, kini menghadapi krisis akses yang memperburuk ketimpangan sosial. Fenomena ini bukan isolasi; ia mencerminkan kegagalan dalam pengawasan rantai pasok, di mana oknum di tingkat lokal—didukung oleh ikatan keluarga dan bisnis—mampu menembus lapisan birokrasi.
Meski demikian, yang paling mengkhawatirkan adalah ketidakefektifan respons aparat. Beberapa bulan lalu, Kapolres Minahasa AKBP Steven Simbar dengan yakin menyatakan pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgas) untuk memberantas mafia solar, sebuah langkah yang diharapkan dapat memutus rantai kolaborasi ilegal ini. Namun, hingga kini, warga mulai pesimis. “Jika tim Satgas khusus sudah ada, kenapa sampai sekarang para mafia solar, termasuk Rico, masih bebas beraksi?” tanya sumber dengan nada heran yang mencerminkan frustrasi kolektif. Panggilan berulang untuk tindakan tegas dari masyarakat sipil—termasuk petisi dari asosiasi nelayan Bitung—telah bergema sejak awal 2025, tetapi Rico tetap eksis, bergentayangan di wilayahnya seperti hantu yang tak tersentuh.
Dalam mengaitkan keengganan ini dengan dinamika patron-klien di pemerintahan daerah, di mana Frenli—sebagai menantu pengusaha ikan besar—diduga memberikan dukungan logistik dan finansial yang substansial. Studi kasus serupa dari Universitas Sam Ratulangi menyoroti bagaimana ikatan keluarga di sektor perikanan sering kali melindungi aktor kriminal dari pengawasan, menciptakan “zona abu-abu” hukum yang merugikan negara hingga Rp 500 miliar secara nasional setiap tahunnya.
Kasus Rico dan Frenli bukan hanya kronik kejahatan, melainkan cermin kegagalan sistemik dalam pengelolaan subsidi energi pasca-reformasi 2022. Di tingkat nasional, pemerintah telah memperketat regulasi melalui Perpres No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga BBM, tetapi implementasi di daerah seperti Minahasa masih lemah akibat kurangnya koordinasi antarlembaga. Untuk mengatasi ini, para pakar merekomendasikan pendekatan holistik: integrasi teknologi pelacakan digital pada SPBU, peningkatan whistleblower protection, dan audit independen terhadap perusahaan seperti PT Trivena.
Sementara itu, di Minahasa, suara warga terus bergaung. Seorang nelayan tua di pelabuhan Bitung, yang enggan direkam, berkata, “Solar ini milik kami, bukan untuk dikuras segelintir orang.” Hingga penegakan hukum membuktikan komitmennya, mafia solar seperti Rico akan terus menjadi ancaman laten, menggerus tidak hanya anggaran negara, tetapi juga kepercayaan pada institusi yang seharusnya melindungi rakyat.
Pewarta : Marco Kawulusan
