
RI News Portal. Gemolong, Sragen 24 September 2025 – Di tengah upaya pemerintah pusat mempercepat program relokasi dan revitalisasi satuan pendidikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, proyek pembangunan SDN 2 Purworejo di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, justru menjadi sorotan tajam. Dengan alokasi dana mencapai Rp976.200.000 yang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Pembangunan Satuan Pendidikan Kabupaten Sragen, proyek ini seharusnya menjadi tonggak peningkatan kualitas belajar-mengajar. Namun, investigasi mendalam TIPN mengungkap serangkaian pelanggaran standar teknis yang berpotensi membahayakan keselamatan siswa dan guru, sekaligus menimbulkan kerugian negara yang signifikan.
Program Relokasi Sekolah Pendidikan Tahun 2025 ini bertujuan mengatasi kondisi bangunan lama SDN 2 Purworejo yang sudah tidak layak huni, dengan fokus pada renovasi fisik ruang kelas existing dan pembangunan ruang baru. “Kegiatan ini dirancang untuk mendukung kenyamanan pelaku proses belajar-mengajar, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan,” ujar sumber dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen yang enggan disebut namanya, saat dikonfirmasi via telepon. Dana tersebut sepenuhnya bersumber dari APBN, menjadikannya bagian dari komitmen nasional untuk infrastruktur pendidikan dasar yang merata.
Namun, kunjungan media kelokasi melihat kenyataan berbeda. Beberapa ruang kelas dalam tahap renovasi masih mengandalkan bahan kayu lama yang kondisinya rapuh dan jelas tidak memenuhi kriteria kualitas material struktural. Saat didekati, seorang pekerja bernama Mail—yang sedang mengawasi pemasangan elemen kayu—mengklaim, “Kayu ini masih layak pakai, kok. Semua bahan sudah sesuai spesifikasi yang ditentukan.” Pernyataan itu bertentangan dengan pengamatan visual awak media, di mana serat kayu terlihat retak dan lapuk, berisiko gagal memenuhi beban struktural minimal.

Keganjilan lebih lanjut terlihat pada penggunaan besi tulangan (begel atau cincin/ring) berukuran hanya 6 mm, padahal standar nasional untuk konstruksi sekolah dasar mensyaratkan minimal 8 mm untuk menjamin kekuatan beton bertulang. Pertanyaan krusial pun muncul: bagaimana nasib besi-besi yang sudah tertanam dalam cor beton? Proses cor yang telah dilakukan berpotensi menghasilkan struktur lemah, yang sulit dideteksi tanpa pengujian destruktif. Tak hanya itu, rangka atap dari bahan PVC yang dipasang di beberapa area juga dicurigai tidak memenuhi spesifikasi ketahanan api dan beban angin, sebagaimana diatur dalam pedoman rehabilitasi bangunan pendidikan.
Puncaknya, upaya konfirmasi ke Ibu Nor Rubiantun, Kepala Sekolah SD NEGERI PURWOREJO 2 memiliki akreditasi B, berdasarkan sertifikat 220/BAP-SM/X/2016, berujung pada respons yang mengejutkan dan dianggap tidak profesional. Alih-alih memberikan penjelasan terbuka, beliau justru memohon agar temuan ini tidak dipublikasikan, dengan nada yang menyiratkan, “Tau sama tau,” sambil mengarahkan tim untuk bertemu kepala proyek di lapangan. Sikap ini tidak hanya merusak citra institusi pendidikan sebagai pilar transparansi, tapi juga menimbulkan dugaan konflik kepentingan. Sebagai figur yang berinteraksi langsung dengan komunitas sekolah, respons semacam itu justru memperlemah kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana publik.
Baca juga : Pemerintah Kota Subulussalam Buka Seleksi Terbuka JPTP 2025 untuk Enam Jabatan Strategis
Pelanggaran ini melanggar sejumlah norma hukum nasional yang ketat. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) secara eksplisit mensyaratkan bahwa rehabilitasi atau pembangunan baru harus menggunakan material berkualitas tinggi, dengan kualitas bangunan minimal permanen kelas B sesuai standar konstruksi nasional. Lebih lanjut, Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023 menekankan rasio luas ruang kelas minimal 2 meter persegi per siswa, dengan ukuran standar 8×7 meter (56 m²) untuk 28 siswa, serta lebar minimal 5 meter untuk memastikan sirkulasi udara dan evakuasi darurat. Sementara itu, Permendiknas Nomor 3 Tahun 2009 mengatur standar teknis pembangunan dan rehabilitasi, yang mengharuskan penggantian total material jika tingkat kerusakan melebihi 65%—kondisi yang jelas terpenuhi di SDN 2 Purworejo. Pelanggaran ini bukan sekadar administratif; ia berpotensi memicu sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan tanggung jawab pejabat publik atas penyalahgunaan dana pendidikan.
Saksi pelanggaran utama dalam kasus ini termasuk pekerja Mail sebagai saksi mata atas pemilihan material, serta dokumen kontrak proyek yang seharusnya diverifikasi oleh Pemda Sragen. Komunitas lokal, termasuk orang tua siswa, turut menjadi saksi tidak langsung: “Kami khawatir anak-anak belajar di bangunan setengah hati. Ini kan dana rakyat,” keluh seorang wali murid yang enggan disebut identitasnya, saat ditemui di sekitar sekolah.
Implikasi sosial dari kelalaian ini tak terelakkan. Di satu sisi, siswa SDN 2 Purworejo—mayoritas dari keluarga petani di wilayah pedesaan Gemolong—terancam mengalami penurunan kualitas belajar akibat lingkungan fisik yang tidak kondusif. Studi akademis dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa infrastruktur buruk dapat menurunkan prestasi siswa hingga 20-30%, memperlemah mobilitas sosial generasi muda di daerah tertinggal seperti Sragen. Guru pun merasa frustrasi, karena fasilitas yang tidak nyaman menghambat inovasi pengajaran, berujung pada tingkat burnout yang tinggi.
Resiko terbesar adalah hilangnya nyawa: bayangkan evakuasi darurat di ruang kelas dengan tulangan besi tipis, di mana pintu darurat mungkin terhalang oleh rangka PVC murahan. Secara ekonomi, negara berisiko kehilangan miliaran rupiah lebih lanjut untuk perbaikan darurat, sementara Pemda Sragen menghadapi tuntutan hukum dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan APBN yang ceroboh.
Masyarakat mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, bersama KPK dan penegak hukum, untuk segera melakukan audit independen terhadap proyek ini. Jika terbukti pelanggaran, pembongkaran total dan pembangunan ulang harus menjadi opsi prioritas, sesuai amanat Permendiknas yang menekankan pembangunan profesional dan berkelanjutan. Hanya dengan transparansi penuh, program revitalisasi seperti ini baru bisa menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan pendidikan Indonesia, bukan sekadar proyek yang sia-sia dan berisiko.
Pewarta : Nandang Bramantyo/Danang
