
RI News Portal. Jakarta, 22 September 2025 – Di tengah hembusan angin perubahan pasca-kerusuhan akhir Agustus lalu, ribuan warga Jakarta Timur memilih jalan damai. Mereka berkumpul dalam aksi deklarasi massal, menolak segala bentuk kekerasan, penjarahan, dan hasutan yang telah mengoyak stabilitas ibu kota. Lebih dari sekadar penolakan, acara ini juga menjadi panggung dukungan tegas terhadap agenda kerakyatan Presiden Prabowo Subianto, mencerminkan dinamika sosial di mana masyarakat akar rumput berupaya merebut narasi dari kekacauan.
Aksi yang berlangsung pada Minggu, 21 September 2025, di Pintu Air BKT, Duren Sawit, bukanlah demonstrasi biasa. Sekitar 5.000 warga dari 10 kecamatan dan 65 kelurahan di Jakarta Timur hadir, menyatukan suara dalam semangat rekonsiliasi. Koordinator acara, Edi Marzuki, menekankan bahwa deklarasi ini adalah respons langsung terhadap citra negatif yang melekat pada wilayahnya pasca-kerusuhan. “Kita ingin mengabarkan kepada warga bahwa Jakarta Timur baik-baik saja. Jadi warga Jakarta Timur tidak sebagaimana seperti yang orang gadang-gadangkan, Jakarta Timur rusuh. Kita menolak akan kerusuhan, kita menolak akan penjarahan,” ujar Edi dalam keterangannya di lokasi acara.
Deklarasi ini tak hanya simbolis. Peserta menuntut aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap penghasut, perusuh, dan penjarah yang terlibat dalam gelombang demonstrasi akhir Agustus. Edi menegaskan, langkah ini diharapkan mencegah pengulangan tragedi, di mana kekerasan meluas dari tuntutan politik menjadi aksi destruktif. “Kami warga Jakarta Timur khususnya dan umumnya kita mengatakan kepada Indonesia dimana ada perusuh tangkap, dimana ada orang yang bikin hoaks tangkap, dimana ada orang yang menjarah tangkap dan serahkan kepada yang berwajib,” tambahnya dengan nada tegas.

Berbeda dari demonstrasi konvensional yang sering diwarnai ketegangan, acara ini memadukan elemen budaya dan rekreasi untuk menyampaikan pesan harmoni. Ribuan peserta mengenakan kaos putih sebagai simbol kemurnian niat, sambil membawa poster-poster yang menolak kekerasan. Tak ketinggalan, sesi senam bersama menjadi puncak acara, mengubah ruang publik menjadi arena ekspresi damai. “Ada senam yang kedua adalah acara Jakarta mendukung segala seluruh program presiden bapak Prabowo Subianto itu acara intinya,” jelas Edi, menyoroti bagaimana kegiatan ini menyatukan warga dalam semangat positif.
Puncak deklarasi adalah pembacaan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yang disusun secara kolektif: pertama, tangkap para penghasut, perusuh, dan penjarah; kedua, tolak hoaks dan fitnah di media sosial; ketiga, maksimalkan program kerakyatan Presiden Prabowo, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih. Tuntutan ini bukan hanya slogan, melainkan cerminan aspirasi masyarakat yang lelah dengan polarisasi dan ingin fokus pada pembangunan inklusif.
Baca juga : Indonesia-Turki Perkuat Aliansi Industri: Roadmap Strategis untuk Pertumbuhan Ekonomi Bersama
Untuk memahami urgensi deklarasi ini, perlu ditelusuri akar masalahnya. Gelombang aksi dimulai pada 25 Agustus 2025 di Gedung DPR RI, dipicu oleh tuntutan pembubaran parlemen dan kritik terhadap kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Massa yang terdiri dari buruh, pekerja kantoran, pelajar, dan mahasiswa awalnya berkumpul secara damai. Namun, situasi memanas ketika aparat membubarkan demonstran dengan gas air mata, memicu pembubaran ke berbagai ruas jalan di Jakarta.
Puncak kekacauan terjadi pada 28 Agustus, saat ribuan buruh kembali berunjuk rasa. Kericuhan meletus di titik-titik seperti Pejompongan dan Jalan Asia Afrika, ditandai insiden tragis di mana kendaraan taktis Brimob melindas Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online, hingga tewas. Kemarahan massa kemudian meluap menjadi perusakan fasilitas umum—pos polisi, rambu lalu lintas, pembatas jalan, hingga pembakaran kendaraan. Lebih parah lagi, aksi berujung penjarahan di rumah-rumah tokoh publik, termasuk Ahmad Sahroni, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya), Nafa Urbach, dan bahkan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Barang-barang dirampas, dan tembok-tembok dicoret sebagai bentuk ekspresi amarah.
Dalam perspektif sosiologis, kerusuhan ini mencerminkan ketegangan antara aspirasi rakyat dan respons institusional, di mana media sosial mempercepat penyebaran hoaks dan memobilisasi massa. Deklarasi warga Jakarta Timur, oleh karena itu, muncul sebagai antitesis: bukan melawan pemerintah, melainkan mendukung stabilitas untuk mewujudkan program-program prorakyat.
Aksi ini bukan sekadar lokal. Ia menandai potensi gelombang rekonsiliasi di tingkat nasional, di mana masyarakat sipil mengambil inisiatif untuk meredam konflik. Dukungan terhadap program Presiden Prabowo—seperti MBG yang menargetkan gizi anak bangsa, Sekolah Rakyat untuk akses pendidikan merata, dan Koperasi Merah Putih untuk pemberdayaan ekonomi—menunjukkan bagaimana agenda pemerintah bisa menjadi jembatan antara elite dan rakyat. Namun, keberhasilan tergantung pada respons aparat: apakah tuntutan Tritura akan diindahkan, atau justru diabaikan?
Dalam era digital di mana berita menyebar cepat, deklarasi seperti ini mengingatkan kita pada kekuatan komunitas dalam membentuk narasi. Warga Jakarta Timur telah membuktikan bahwa damai bukanlah kelemahan, melainkan strategi untuk masa depan yang lebih baik. Sebagai media online yang fokus pada analisis mendalam, kami mengajak pembaca untuk berpartisipasi: bagikan pengalaman Anda di kolom komentar, atau ikuti update interaktif kami melalui newsletter harian untuk melacak perkembangan stabilitas sosial di Indonesia.
Pewarta : Yogi Hilmawan
