
RI News Portal. Jakarta, 16 September 2025 – Di tengah persiapan Pemilu 2029 yang semakin mendekat, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, yang akrab disapa Zulhas, menyuarakan keprihatinan mendalam atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadikan dokumen persyaratan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sebagai informasi rahasia. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025, yang secara eksplisit mengecualikan akses publik terhadap 16 jenis dokumen krusial, termasuk ijazah pendidikan, selama periode lima tahun. Menurut Zulhas, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menuntut transparansi, di mana hak publik untuk mengetahui rekam jejak pemimpin nasional seharusnya menjadi prioritas utama.
Dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan pada Selasa pagi, Zulhas memulai dengan pertanyaan retoris yang tajam: “Memang ada yang rahasia?” Ia menekankan bahwa masyarakat berhak atas informasi lengkap mengenai latar belakang capres dan cawapres, serupa dengan akses terbuka terhadap data pangan di kementerian yang ia pimpin sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan. “Setahu saya ada hak publik untuk mengetahui informasi itu, ya seperti di Menko Pangan kan anda boleh tahu apa aja kan, silahkan,” ujarnya, menganalogikan transparansi di sektor pangan dengan kebutuhan akan keterbukaan dalam proses pemilu. Pernyataan ini bukan hanya kritik politik, melainkan panggilan untuk merevisi kerangka hukum yang dinilai membatasi partisipasi masyarakat dalam pengawasan demokrasi.

Kebijakan KPU yang kontroversial ini, sebagaimana diuraikan dalam keputusan tersebut, menetapkan bahwa dokumen-dokumen sensitif hanya dapat diakses dengan persetujuan dari pihak yang bersangkutan atau melalui prosedur hukum tertentu. Hal ini mencakup berbagai elemen identitas dan kualifikasi, mulai dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik dan akta kelahiran, hingga surat keterangan catatan kepolisian dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dokumen kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk KPU juga termasuk dalam daftar, beserta surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, surat tanda terima laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), fotokopi nomor wajib pajak beserta Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, serta surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit atau memiliki tanggungan utang dari pengadilan negeri, semuanya diklasifikasikan sebagai informasi tertutup.
Lebih lanjut, daftar ini meliputi surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan, daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon. Ijazah atau surat tanda tamat belajar, yang menjadi pusat perdebatan, juga dilarang diakses secara bebas, diikuti surat pernyataan diusulkan sebagai bakal calon secara berpasangan. Dokumen pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak ditetapkan sebagai pasangan calon, serta pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), turut dirahasiakan. Tak ketinggalan, surat keterangan tidak terlibat dalam organisasi terlarang atau G30S/PKI dari kepolisian, surat pernyataan setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, serta surat keterangan tidak pernah dipidana penjara dari pengadilan negeri beserta putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Baca juga : Rapat Terbatas Ekonomi Prabowo Subianto: Fokus Perumahan dan Energi Baru
Dari perspektif akademis, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan etis tentang keseimbangan antara privasi individu dan akuntabilitas publik dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia. Sebagaimana dibahas dalam literatur hukum tata negara, transparansi pemilu bukan hanya alat pencegah korupsi, melainkan fondasi kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Kritik Zulhas mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas di kalangan analis politik, di mana pembatasan akses ini berpotensi membuka celah bagi manipulasi informasi, terutama dalam era digital di mana verifikasi rekam jejak pemimpin semakin krusial. Berbeda dengan pendekatan media konvensional yang sering kali hanya melaporkan kutipan langsung, analisis ini menyoroti implikasi jangka panjang: apakah kebijakan KPU ini akan memperkuat atau justru melemahkan integritas pemilu mendatang?
Sementara itu, respons dari pihak KPU belum muncul secara resmi hingga berita ini ditulis, meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa keputusan ini bertujuan melindungi data pribadi dari penyalahgunaan. Namun, bagi Zulhas dan pendukungnya, hak publik atas informasi bukanlah opsi, melainkan kewajiban demokrasi. Debat ini kemungkinan akan memanaskan diskusi politik nasional, mendorong revisi undang-undang pemilu untuk menyeimbangkan privasi dengan transparansi yang lebih inklusif.
Pewarta : Yudha Purnama
