
RI News Portal. Jakarta, 20 Agustus 2025 – Dalam konteks reformasi peradilan yang sedang berlangsung di Indonesia, Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., kembali menyoroti urgensi membangun peradilan yang mandiri dan bebas intervensi. Pernyataan ini disampaikan pada hari Rabu, menekankan bahwa independensi peradilan tidak hanya bergantung pada regulasi dan tata kelola, tetapi juga pada kesejahteraan aparatur pengadilan sebagai faktor kunci untuk mencegah praktik korupsi. Menurut Sunarto, elemen-elemen seperti regulasi yang kuat, pengelolaan kelembagaan yang transparan, alokasi anggaran yang memadai, serta sumber daya manusia yang kompeten harus saling mendukung untuk menciptakan sistem peradilan yang tangguh.
Sunarto menjelaskan bahwa regulasi yang kokoh harus menjamin perlindungan peradilan dari segala bentuk intervensi eksternal, sementara tata kelola kelembagaan perlu dibersihkan dari konflik kepentingan. Lebih lanjut, ia menekankan peran kompetensi, integritas, dan komitmen aparatur terhadap nilai keadilan. Namun, aspek yang paling krusial, kata Sunarto, adalah jaminan kesejahteraan yang layak bagi hakim dan pegawai peradilan. “Kesejahteraan yang memadai akan mengurangi kerentanan terhadap praktik korupsi yudisial,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa aparatur yang sejahtera lebih tahan terhadap godaan suap atau kompromi yang mengancam integritas. Pernyataan ini sejalan dengan komitmennya sejak terpilih sebagai Ketua MA pada Oktober 2024, di mana ia berjanji untuk meningkatkan anggaran guna memperbaiki kesejahteraan hakim.

Dari perspektif akademis, pernyataan Sunarto ini dapat dilihat sebagai respons terhadap masalah struktural korupsi yudisial di Indonesia, yang telah menjadi sorotan dalam berbagai studi. Laporan Komisi Yudisial, misalnya, menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur sering kali membuka peluang bagi praktik korupsi dan pengaruh eksternal. Sebuah analisis dari Jurnal Dassollen mengungkapkan bahwa kesejahteraan yang minim menjadi faktor pendorong utama bagi hakim untuk terjerat korupsi, dengan data menunjukkan peningkatan kasus terkait remunerasi yang tidak memadai. Studi ini juga menyoroti bahwa antara 2019 hingga 2024, setidaknya 29 hakim terjerat kasus korupsi, sebagian besar dipengaruhi oleh faktor ekonomi.
Secara lebih luas, pendekatan Sunarto ini didukung oleh kerangka teori ekonomi hukum internasional. Penelitian dari University of Minnesota menemukan bahwa kenaikan gaji hakim dapat mengurangi insentif korupsi dengan meningkatkan optimalisasi kinerja kerja, meskipun hubungannya tidak selalu signifikan secara statistik di semua konteks. Model Becker-Stigler dalam studi tentang korupsi resmi menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan mengurangi ekspektasi hukuman bagi pelaku korupsi, sehingga meningkatkan deterrence. Di Indonesia, hal ini relevan mengingat korupsi transaksional di peradilan sering kali melibatkan suap untuk memengaruhi putusan, seperti yang dianalisis oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Selain itu, remunerasi berbasis kinerja, sebagaimana diusulkan dalam diskusi akademis, bisa menjadi solusi untuk menyelaraskan insentif dengan integritas, dengan potensi peningkatan gaji hingga 280 persen untuk hakim.
Baca juga : Digitalisasi Koperasi Desa Merah Putih: Implikasi Strategis bagi Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Indonesia
Implikasi dari pernyataan Sunarto ini tidak hanya terbatas pada pencegahan korupsi, tetapi juga pada penguatan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Dalam studi law and economics, korelasi antara kesejahteraan hakim dan rendahnya korupsi terbukti signifikan, sebagaimana dibahas dalam artikel Kompas.id tentang keadilan ekologis. Namun, tantangan tetap ada: peningkatan anggaran harus diikuti dengan pengawasan ketat oleh Komisi Yudisial untuk menghindari penyalahgunaan. Sunarto sendiri mengingatkan bahwa “kesejahteraan yang memadai memberi keyakinan bahwa integritas aparatur akan lebih terpelihara,” sebuah pandangan yang dapat menjadi katalisator reformasi berkelanjutan.
Pernyataan ini datang di tengah upaya Mahkamah Agung untuk memperkuat martabatnya, sebagaimana disampaikan Sunarto dalam pidato delapan dekade MA: “Selama pengadilan berdiri tegak dengan martabatnya, maka selama itu pula negara ini akan berdiri kokoh dalam kedaulatannya.” Dengan demikian, fokus pada kesejahteraan bukan hanya kebijakan administratif, melainkan investasi strategis untuk demokrasi Indonesia yang lebih adil dan transparan.
Pewarta : Albertus Parikesit
