
RI News Portal. Padangsidimpuan, 18 Agustus 2025 – Di tengah hiruk-pikuk perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80 yang digelar secara nasional, masyarakat Lorong Muhajirin, sebuah kawasan permukiman di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, menunjukkan bentuk partisipasi lokal yang unik dan penuh semangat. Acara yang diselenggarakan pada 17 Agustus 2025 oleh kelompok pemuda Naposo Nauli Bulung ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga merefleksikan dinamika sosial dalam memperkuat ikatan komunal di era pasca-pandemi. Berbeda dengan liputan media daring yang sering kali menekankan aspek visual dan sensasional, analisis ini menyoroti dimensi sosiokultural perayaan tersebut sebagai mekanisme pembangunan karakter bangsa di tingkat akar rumput.
Perayaan dimulai sejak pagi hari dengan serangkaian perlombaan yang melibatkan berbagai kelompok usia, mencerminkan inklusivitas dan adaptasi tradisi kemerdekaan terhadap konteks lokal. Untuk anak-anak, lomba makan kerupuk dan mengambil koin dari pepaya yang telah diolesi oli bekas kendaraan menjadi sorotan utama. Perlombaan ini, yang memerlukan ketangkasan dan strategi sederhana, tidak hanya menghibur tetapi juga melatih ketahanan dan kreativitas generasi muda dalam menghadapi tantangan sehari-hari. Sementara itu, kelompok perempuan dewasa—yang kerap disebut “emak-emak”—berpartisipasi dalam tarik tambang dan lomba joget, aktivitas yang menekankan kerjasama tim dan ekspresi budaya populer. Observasi lapangan menunjukkan bagaimana elemen-elemen ini memperkuat peran gender dalam kegiatan komunal, di mana perempuan tidak hanya sebagai peserta pasif, melainkan agen aktif dalam mempertahankan semangat gotong royong.

Puncak acara berupa lomba panjat pinang menarik perhatian khusus, dengan kategori yang dibagi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia: siswa SD, SMP, SMA, serta kelompok umum yang diikuti oleh para ayah muda. Lomba ini, yang secara historis berakar pada tradisi kolonial Belanda sebagai bentuk hiburan, telah berevolusi menjadi simbol perjuangan kolektif dalam mencapai tujuan bersama. Di Lorong Muhajirin, panjat pinang tidak sekadar kompetisi; ia merepresentasikan metafor perjuangan kemerdekaan, di mana peserta harus mengatasi rintangan licin—mirip dengan oli pada pepaya—untuk meraih hadiah di puncak. Antusiasme penonton, yang mencapai ratusan warga setempat, menandakan tingginya keterlibatan masyarakat dalam acara ini, yang berlangsung hingga sore hari tanpa insiden signifikan.
Dari perspektif sosiologis, perayaan ini dapat dilihat sebagai bentuk ritual komunal yang memperkuat kohesi sosial di tengah tantangan urbanisasi di Padangsidimpuan. Kelompok Naposo Nauli Bulung, yang terdiri dari pemuda dan pemudi lokal, memainkan peran krusial dalam pengorganisasian, mulai dari penggalangan dana hingga eksekusi acara. Hal ini sejalan dengan teori partisipasi pemuda dalam pembangunan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli seperti Robert Putnam dalam konsep “social capital,” di mana inisiatif bottom-up seperti ini membangun kepercayaan dan jaringan antarwarga.
Baca juga : Peringatan HUT ke-80 RI di Lampung Barat: Semangat Paskibraka dan Apresiasi Pemerintah Daerah
Kutipan dari perwakilan masyarakat menambah kedalaman narasi ini. Ibu Nurcahaya Nasution, yang akrab disapa Etek Gonjong, bersama rekannya Hamida Harahap atau Bak Mantili, menyampaikan rasa syukur mendalam atas dedikasi pemuda setempat. “Kami sangat berterima kasih kepada anak-anak muda mudi Lorong Muhajirin yang telah bersusah payah, dari mencari pendanaan hingga menyelesaikan acara ini,” ujar Ibu Nurcahaya. Mereka juga menyuarakan harapan untuk masa depan: agar peringatan HUT RI mendatang lebih meriah dan kompak, serta memperluas kegiatan ke hari besar lainnya, seperti Hari Kartini atau Hari Pahlawan. Pernyataan ini mencerminkan aspirasi kolektif untuk kontinuitas tradisi, yang potensial menjadi model bagi komunitas lain di Indonesia.
Secara keseluruhan, perayaan di Lorong Muhajirin bukan hanya pesta sementara, melainkan investasi jangka panjang dalam pembentukan identitas nasional. Di tengah narasi nasional yang sering didominasi oleh acara skala besar di ibu kota, inisiatif lokal seperti ini mengingatkan kita pada esensi kemerdekaan: kebebasan untuk merayakan bersama, dengan cara yang autentik dan inklusif. Penelitian lebih lanjut di bidang antropologi budaya bisa mengeksplorasi bagaimana tradisi semacam ini berkontribusi terhadap ketahanan sosial di masyarakat urban pinggiran.
Pewarta : Indra Saputra
