
RI News Portal. Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian, mengeluarkan imbauan kepada seluruh kepala daerah di Indonesia untuk menerapkan kebijakan fiskal, khususnya terkait pajak dan retribusi daerah, dengan pertimbangan yang matang dan berpihak kepada masyarakat. Imbauan ini muncul sebagai respons langsung atas polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang memicu protes besar-besaran dan berujung pada kericuhan.
Pada Kamis, 14 Agustus 2025, Mendagri Tito menegaskan bahwa setiap kebijakan yang berhubungan dengan pungutan daerah tidak boleh memberatkan rakyat. “Saya mohon kepala daerah lainnya, setiap mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan pajak dan retribusi, jangan sampai memberatkan masyarakat. Lakukan bertahap saja,” ujarnya. Pernyataan ini secara spesifik menanggapi kebijakan Bupati Pati, Sudewo, yang menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250 persen, sebuah langkah yang dinilai secara sepihak dan tanpa sosialisasi memadai.
Mendagri juga menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menjadi dasar penentuan besaran PBB. Menurutnya, perhitungan NJOP harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan beban finansial yang signifikan bagi warga. “Itu jangan sampai memberatkan masyarakat. Prinsip utamanya itu,” kata Tito, menekankan perlunya evaluasi mendalam sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan.

Selain aspek teknis, Tito juga menggarisbawahi pentingnya proses sosialisasi yang efektif dan transparan. Ia menyarankan agar kebijakan yang disusun dapat diberi jeda waktu antara penetapan dan pemberlakuannya, misalnya, kebijakan yang dibuat di tahun ini baru berlaku pada awal tahun berikutnya. Hal ini bertujuan agar masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk memahami dan beradaptasi dengan regulasi baru.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, Mendagri Tito meminta pemerintah daerah untuk mengadopsi pendekatan yang responsif dan akomodatif. Kebijakan sebaiknya disusun setelah memperhatikan dinamika dan aspirasi masyarakat melalui dialog. Ini sejalan dengan prinsip partisipatif dalam pengambilan keputusan publik, di mana suara masyarakat menjadi elemen krusial.
Kasus di Pati menjadi studi kasus nyata mengenai dampak dari kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi publik. Kenaikan PBB-P2 yang drastis memicu kemarahan puluhan ribu warga yang kemudian berujung pada unjuk rasa anarkis pada Rabu, 13 Agustus 2025. Demonstrasi ini, yang menuntut pengunduran diri Bupati Sudewo, berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan.
Menanggapi demonstrasi tersebut, Mendagri juga mengimbau masyarakat untuk tetap menggunakan mekanisme hukum dan dialog yang tersedia dalam menyampaikan aspirasi, menghindari tindakan anarkis yang melanggar hukum.
Sebagai tindak lanjut dari eskalasi konflik tersebut, kebijakan kenaikan tarif PBB-P2 di Pati akhirnya dibatalkan. Tarif pajak dikembalikan ke level tahun 2024. Keputusan ini menunjukkan bahwa resistensi sosial yang terorganisir dapat menjadi mekanisme check and balance yang efektif terhadap kebijakan pemerintah daerah yang dianggap tidak adil.
Secara akademis, insiden ini mengilustrasikan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam analisis kebijakan publik. Faktor ekonomi (beban pajak), sosiologi (respons dan mobilisasi massa), dan politik (tata kelola dan akuntabilitas pemerintah) saling berinteraksi. Peristiwa ini menjadi pengingat bagi para pemangku kebijakan bahwa legitimasi kebijakan fiskal tidak hanya bergantung pada dasar hukum, tetapi juga pada penerimaan dan kepercayaan publik. Kegagalan dalam membangun kepercayaan ini dapat berujung pada instabilitas sosial dan politik, seperti yang terjadi di Kabupaten Pati.
Pewarta : Yudha Purnama
