
RI News Portal. Medan – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi memberikan amnesti kepada 86 narapidana yang tersebar di berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) di Sumatera Utara. Kebijakan ini merupakan bagian dari pelaksanaan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2025 yang menyasar total 1.178 narapidana di seluruh Indonesia.
Kepala Bidang Pembinaan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Sumatera Utara, Hamdi Hasibuan, menyatakan bahwa 86 narapidana yang memperoleh amnesti terdiri dari 83 pria dan 3 perempuan, yang dipastikan langsung bebas dari tahanan sejak diterimanya SK amnesti pada Sabtu (2/8/2025).
“Sesuai Keppres, 86 orang dari Sumut mendapat amnesti. Mereka langsung bebas setelah menerima SK dari pusat. Ini bukan hasil pengajuan daerah, tapi keputusan langsung dari pemerintah pusat,” ujar Hamdi dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (4/8/2025).

Dari 86 penerima amnesti di Sumatera Utara, sebanyak 81 orang merupakan narapidana kasus narkotika, mencerminkan tingginya proporsi penghuni lapas akibat pelanggaran undang-undang narkotika. Sementara itu, sisanya terdiri dari kasus penganiayaan (2 orang), pembunuhan (1 orang dengan status ODGJ), perjudian (1 orang), tindak pidana korupsi (1 orang), dan pelanggaran perpajakan (1 orang).
Hamdi menjelaskan bahwa narapidana yang menerima amnesti umumnya dijatuhi vonis ringan hingga menengah, dengan rata-rata masa hukuman 1 hingga 4 tahun, serta maksimal 10 tahun untuk kasus pembunuhan dengan kondisi kejiwaan tertentu.
Kebijakan pemberian amnesti ini merupakan langkah strategis pemerintah dalam menangani kepadatan hunian Lapas dan Rutan, serta mempercepat proses reintegrasi sosial bagi narapidana yang telah memenuhi kriteria kemanusiaan dan penilaian risiko residivisme.
“Amnesti ini sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap warganya yang telah menjalani pidana, dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan,” tambah Hamdi.
Namun demikian, langkah ini juga membuka ruang perdebatan publik, terutama menyangkut aspek keadilan restoratif dan jaminan ketertiban sosial. Pemberian amnesti kepada pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan atau korupsi, meskipun terbatas jumlahnya, berpotensi menimbulkan kegelisahan di masyarakat, terutama jika tidak diikuti dengan transparansi proses penilaian dan pengawasan pasca-bebas.
Dalam kerangka hukum tata negara Indonesia, amnesti adalah hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun, implementasinya tetap harus memperhatikan prinsip akuntabilitas publik, terutama dalam konteks perundang-undangan yang lebih teknis seperti UU Pemasyarakatan dan UU tentang Grasi dan Amnesti.
Pemberian amnesti kali ini dapat menjadi studi kasus penting bagi para pemangku kepentingan hukum dan kebijakan publik, mengenai bagaimana negara menyeimbangkan kepentingan kemanusiaan, keadilan hukum, dan stabilitas sosial secara proporsional.
Hamdi menegaskan bahwa pemberian amnesti ini tidak bersifat final, melainkan bagian dari skema berkelanjutan yang memungkinkan narapidana lain dengan kriteria tertentu untuk memperoleh kesempatan serupa di masa mendatang.
“Kami berharap amnesti ini berdampak pada penurunan kapasitas Lapas dan menjadi motivasi bagi warga binaan untuk menunjukkan perubahan positif,” tutupnya.
Pemberian amnesti oleh Presiden bukan hanya keputusan administratif, tetapi juga mencerminkan arah kebijakan nasional terkait pemasyarakatan dan hak asasi manusia. Pemerintah didorong untuk memastikan mekanisme pengawasan dan pembinaan pasca-bebas tetap berjalan demi mencegah potensi residivisme.
Pewarta : Adi Tanjoeng
