
RI News Portal. Lampung Barat — Negara akhirnya turun tangan. Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) resmi menyita 49.822,39 hektare lahan ilegal yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), tepatnya di wilayah Pekon Tembelang, Kecamatan Bandar Negeri Suoh, Kabupaten Lampung Barat. Langkah ini menjadi tonggak penting dalam upaya pemulihan fungsi ekologis kawasan konservasi sekaligus penindakan atas kejahatan struktural di sektor agraria.
Penyitaan tersebut merupakan akumulasi dari advokasi jangka panjang yang dilakukan oleh Gerakan Masyarakat Sipil Independen (GERMASI), yang sejak awal telah membongkar praktik-praktik penyimpangan berupa penguasaan kawasan konservasi oleh pihak-pihak yang diduga memiliki jejaring kekuasaan, termasuk alih fungsi menjadi kebun kopi dan aktivitas jual beli tanah secara ilegal. Fakta-fakta lapangan yang dikumpulkan GERMASI menunjukkan bahwa kejahatan ini bukanlah tindakan individual, melainkan bagian dari praktik sistemik dan terorganisir yang melibatkan aparatur sipil, elit lokal, hingga mafia tanah.

Ridwan Maulana, C.PL., CDRA., selaku pendiri GERMASI, menyatakan bahwa penyitaan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari pertarungan panjang menuju keadilan lingkungan. “Ini bukan sekadar penyitaan administratif. Ini adalah tamparan keras bagi oknum-oknum penguasa yang merasa kebal hukum. Kami akan kawal sampai tuntas! Bila perlu, kami buka semua datanya ke publik,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kuasa Hukum GERMASI, Hengky Irawan, S.H., M.H., menekankan bahwa tindakan hukum tidak boleh berhenti pada penguasaan kembali aset negara, tetapi harus dilanjutkan ke proses pidana. “Kami mendesak Kejaksaan Agung RI melalui Satgas PKH agar menelusuri dan menjerat para aktor intelektual, termasuk jika terdapat pejabat atau aparat negara yang menyalahgunakan kewenangannya. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi tindak pidana berat yang mengancam keberlangsungan ekosistem konservasi,” ujarnya.
Secara akademik, kasus ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara hukum lingkungan, politik agraria, dan etika tata kelola sumber daya alam. TNBBS merupakan kawasan konservasi yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta secara administratif termasuk wilayah strategis nasional. Oleh karena itu, penguasaan ilegal atas kawasan ini tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga menunjukkan kegagalan pengawasan dan potensi korupsi struktural dalam tata kelola kehutanan.
Baca juga : Dua Tentara Kamboja Dipulangkan, Ketegangan dengan Thailand Masih Membara
Selain itu, tindakan negara melalui Kejaksaan Agung juga bisa ditafsirkan sebagai upaya penegakan prinsip strict liability dalam hukum lingkungan, di mana pihak yang menyebabkan kerusakan lingkungan dapat dikenai tanggung jawab mutlak, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Hal ini penting untuk mencegah impunitas terhadap pelaku kejahatan lingkungan.
Namun demikian, publik kini menanti: siapa aktor utama di balik kejahatan ekologis ini? Siapa yang selama ini menjadi beking kuat dalam praktik jual beli tanah konservasi?
GERMASI mendesak agar Satgas PKH Kejagung RI tidak goyah oleh tekanan politik atau intervensi elit. Keberanian negara sedang diuji: apakah hukum bisa menembus jantung kekuasaan yang selama ini mengorbankan hutan dan hak hidup masyarakat demi kepentingan oligarki tanah?
Penyitaan ini hanyalah langkah awal. Penegakan hukum dan keadilan ekologis harus berlanjut, menjangkau hingga akar-akar jejaring kekuasaan yang selama ini bersembunyi di balik label “pembangunan” dan “investasi rakyat”. Sebab, tanpa keberanian melawan kejahatan terorganisir di balik penguasaan lahan ilegal, negara akan selalu tertinggal dari para perampas ruang hidup.
Pewarta : IF
