
RI News Portal. Jakarta, 29 Juli 2025 — Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tomsi Tohir, kembali mengingatkan pemerintah daerah (Pemda) agar mengambil langkah konkret dalam menanggulangi laju inflasi, khususnya bagi daerah yang mencatatkan angka inflasi di atas rata-rata nasional sebesar 1,87 persen secara year-on-year (YoY) pada Juni 2025. Penegasan tersebut disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi yang digelar di Kantor Kemendagri, Jakarta.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sepuluh provinsi mencatat inflasi tertinggi pada Juni 2025, dengan Papua Selatan memuncaki daftar sebesar 3 persen, disusul Bali (2,94 persen), dan Sulawesi Barat (2,57 persen). Disparitas ini memperlihatkan adanya ketimpangan dalam pengelolaan harga komoditas strategis, distribusi logistik, serta efektivitas kebijakan fiskal dan moneter di tingkat lokal. Ketimpangan harga juga tercermin dari kenaikan Indeks Perkembangan Harga (IPH) pada minggu IV Juli, dengan DKI Jakarta berada di puncak sebesar 2,35 persen, jauh di atas rata-rata nasional.
Kondisi tersebut menegaskan pentingnya integrasi antara kebijakan pusat dan daerah dalam merespons dinamika harga. Dalam perspektif ekonomi publik, inflasi regional yang tinggi berisiko menurunkan daya beli masyarakat, memperluas kemiskinan relatif, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Menurut Sekjen Kemendagri, beberapa komoditas pangan strategis menjadi penyumbang utama inflasi, seperti bawang merah (naik di 296 kabupaten/kota), cabai rawit (267 daerah), dan beras (219 daerah). Komoditas-komoditas tersebut bukan hanya menjadi indikator tekanan harga jangka pendek, tetapi juga mencerminkan struktur pasokan pangan yang masih rentan terhadap fluktuasi cuaca, biaya distribusi, dan spekulasi pasar.
Pemda didorong untuk melakukan intervensi pasar, memperkuat koordinasi dengan Satgas Pangan, mempercepat realisasi anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) untuk subsidi transportasi logistik, serta mengaktifkan peran BUMD pangan dalam menjaga ketersediaan dan stabilitas harga. Penerapan early warning system berbasis data IPH juga menjadi langkah penting dalam merespons gejala awal kenaikan harga secara terukur.
Tomsi Tohir juga menekankan pentingnya efektivitas forum Rakor Inflasi sebagai medium pertukaran gagasan dan praktik baik. Ia mengingatkan para narasumber agar tidak hanya mengulang data statistik yang sudah dipaparkan pihak lain, tetapi mendorong munculnya analisis baru, solusi inovatif, dan kolaborasi antarinstansi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip evidence-based policy, yang menuntut setiap kebijakan berbasis data terkini dan relevan dengan realitas lapangan.
Kehadiran tokoh-tokoh kunci seperti Deputi Statistik BPS, perwakilan Kementerian PKP, Kantor Staf Presiden (KSP), dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) menegaskan bahwa pengendalian inflasi tidak bisa dilihat sebagai urusan sektoral semata, melainkan harus menjadi isu lintas sektor dan lintas level pemerintahan.
Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan (multi-level governance), urgensi pengendalian inflasi menunjukkan bahwa kapasitas fiskal, birokrasi daerah, dan mekanisme koordinasi vertikal menjadi elemen kunci. Evaluasi kinerja daerah dalam menekan inflasi semestinya dikaitkan dengan insentif fiskal dari pusat, seperti Dana Insentif Daerah (DID), untuk mendorong inovasi kebijakan pengendalian harga yang kontekstual.
Dalam jangka menengah, upaya pengendalian inflasi juga harus diimbangi dengan pembangunan infrastruktur distribusi pangan, digitalisasi sistem harga komoditas, serta peningkatan kapasitas SDM pemerintah daerah dalam perencanaan ekonomi berbasis data.
Dengan demikian, seruan Sekjen Kemendagri bukan semata teguran administratif, melainkan panggilan strategis untuk menegakkan fungsi konstitusional Pemda dalam menjamin kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan ekonomi yang adaptif dan berkeadilan.
Pewarta : Yudha Purnama
