
RI News Portal. Labuhanbatu Utara, 23 Juli 2025 — Tindakan kekerasan yang dialami dua warga sipil, Boy Ambarita (20) dan rekannya MY. Harahap, di Kantor Kelompok Tani Hutan (KTH) KPLS, Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhanbatu Utara, menjadi sorotan publik. Insiden yang terjadi pada Rabu (23/7/2025) itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai perlindungan hak asasi manusia (HAM) serta integritas penegakan hukum di tingkat lokal.
Menurut keterangan korban, keduanya mengalami intimidasi, pengusiran paksa, dan perampasan alat perekam video dari ponsel pribadi milik Boy Ambarita. Kejadian tersebut terjadi ketika mereka berada di lingkungan kantor KTH KPLS yang dikelola oleh kelompok masyarakat berbasis kehutanan. Peristiwa ini diduga kuat melibatkan Soniyaman Waruwu dan beberapa orang lainnya sebagai pelaku utama.
Menanggapi peristiwa tersebut, Boy Ambarita dan MY. Harahap langsung melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kualuh Leidong. Laporan resmi telah tercatat dalam dokumen kepolisian dengan nomor: LP/B/49/VII/2025/SPKT/SEK KL HILIR/RES-LBH/POLDA SUMUT, tertanggal 23 Juli 2025.

Jika ditinjau dari perspektif hukum, insiden ini berpotensi melanggar sejumlah ketentuan pidana. Dalam konteks Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan kekerasan fisik, intimidasi, dan perampasan barang pribadi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tindakan yang dialami korban merupakan bentuk pelanggaran atas hak untuk memperoleh rasa aman, hak atas perlindungan dari perlakuan tidak manusiawi, serta hak atas kebebasan berekspresi.
Peristiwa ini mencerminkan ketegangan yang mungkin terjadi di tengah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Kantor KTH sebagai lembaga lokal semestinya menjadi ruang partisipatif bagi warga desa, bukan sebaliknya menjadi tempat terjadinya represi terhadap warga yang ingin mengakses informasi atau menyuarakan aspirasi.
Tindakan perampasan alat perekam video juga menjadi sorotan dalam konteks kebebasan pers dan hak atas informasi, yang secara normatif dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta UU ITE. Meskipun pelapor bukan jurnalis profesional, tindakan dokumentasi oleh warga merupakan bagian dari praktik jurnalisme warga (citizen journalism) yang harus dihormati di dalam sistem demokrasi.
Boy Ambarita dan MY. Harahap berharap agar aparat penegak hukum bertindak tegas dan profesional dengan segera memproses laporan tersebut. Keduanya menekankan pentingnya perlindungan terhadap warga sipil dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak manapun, terlebih jika dilakukan di ruang publik atau lembaga yang seharusnya bersifat terbuka.
Peristiwa ini menjadi cerminan bahwa perlindungan hukum bagi warga desa masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam konteks relasi kuasa lokal. Penegakan hukum yang cepat, transparan, dan adil menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara, sekaligus mencegah praktik-praktik kekerasan serupa di masa mendatang.
Pewarta : T-Gaul
