
RI News Portal. Jakarta, 25 Juli 2025 — Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya berhasil membongkar praktik manipulasi data pribadi dalam jaringan penjualan kartu SIM prabayar yang telah teregistrasi menggunakan data orang lain. Sebanyak empat tersangka diamankan, masing-masing berinisial IER (51), KK (62), F (46), dan FRR (30), dalam kasus yang dinilai sebagai bentuk kejahatan digital berbasis identitas (identity-based cybercrime) yang serius.
Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus, menjelaskan dalam konferensi pers pada Jumat (25/7) bahwa pengungkapan kasus bermula dari laporan masyarakat yang menemukan adanya akun LinkedIn palsu yang menggunakan identitas orang lain. Setelah dilakukan patroli siber dan investigasi mendalam, penyidik menemukan bahwa akun tersebut terhubung dengan nomor WhatsApp yang didaftarkan menggunakan data pribadi tanpa izin.
Dari hasil penelusuran lebih lanjut, ditemukan tiga nomor ponsel berbeda yang seluruhnya teregistrasi menggunakan data milik pihak ketiga. Keempat tersangka memiliki peran berbeda namun saling berkelindan dalam rantai distribusi kartu SIM ilegal yang telah teregistrasi.

Modus dan Skema Kriminal
- IER, berperan dalam penggunaan kartu SIM yang telah teregistrasi untuk membuat akun WhatsApp palsu dan melakukan impersonasi sebagai anggota keluarga korban.
- KK, pemilik konter ponsel, menjual kartu SIM teregistrasi karena lebih diminati pasar dibanding kartu yang belum teraktivasi.
- F, penyedia kartu SIM untuk tersangka KK, secara aktif memperdagangkan SIM card ilegal yang telah teregistrasi.
- FRR, sebagai pengumpul data pribadi, memanfaatkan mesin pencari Google untuk memperoleh NIK dan nomor KK masyarakat, kemudian menjualnya kepada tersangka F dengan imbalan Rp50 ribu per 100 data.
Sebanyak 154 kartu SIM teregistrasi, lima unit ponsel, satu CPU, dan sejumlah bukti pembayaran berhasil diamankan sebagai barang bukti. Praktik ini memperlihatkan celah serius dalam sistem validasi registrasi kartu SIM serta lemahnya kontrol distribusi data kependudukan di ruang digital.
Baca juga : Penataan Kabel Udara di Kota Tangerang: Sinergi Estetika, Keselamatan, dan Efisiensi Infrastruktur Perkotaan
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, yaitu:
- Pasal 51 Ayat (1) jo. Pasal 35 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2024, mengenai manipulasi, pemalsuan, dan penyalahgunaan informasi elektronik.
- Pasal 67 Ayat (3) jo. Pasal 65 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP), yang mengatur sanksi atas pengumpulan, penyebaran, dan pemanfaatan data pribadi tanpa persetujuan subjek data.
Sanksi maksimum yang mengancam pelaku berupa pidana penjara 12 tahun dan/atau denda hingga Rp12 miliar.
Kasus ini mengungkap akar masalah sistemik dalam perlindungan identitas digital di Indonesia. Meskipun regulasi seperti UU PDP 2022 telah diundangkan, praktik pengumpulan dan penggunaan data pribadi secara ilegal tetap marak terjadi, terutama dalam konteks pasar gelap telekomunikasi.
Fenomena penjualan kartu SIM yang sudah teregistrasi memperlihatkan bahwa kebijakan registrasi berbasis NIK dan KK yang seharusnya meningkatkan keamanan, justru membuka peluang penyalahgunaan ketika verifikasi tidak dilakukan secara biometrik atau autentikatif ganda.
Kejahatan semacam ini juga menandakan lemahnya literasi digital dan masih minimnya penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan data di tingkat hulu, seperti penjual data, distributor SIM card ilegal, dan pengguna akun palsu.
Rekomendasi dan Tindakan Pencegahan
- Pemerintah dan operator seluler perlu menerapkan verifikasi biometrik (seperti sidik jari atau pemindaian wajah) dalam proses registrasi SIM card.
- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) didorong untuk mengintensifkan audit terhadap sistem registrasi pelanggan prabayar.
- Peningkatan literasi digital masyarakat, khususnya mengenai bahaya menyebarkan data NIK dan KK secara sembarangan di internet.
- Kolaborasi antara Kepolisian, Dukcapil, dan penyedia layanan telekomunikasi dalam membentuk sistem deteksi dini untuk mencegah penyalahgunaan identitas.
Kasus ini dapat dijadikan studi penting dalam diskursus keamanan siber, hukum digital, dan perlindungan data pribadi di Indonesia. Dengan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada layanan daring yang berbasis otentikasi nomor telepon, kebutuhan terhadap sistem identitas digital yang aman, transparan, dan dapat diaudit menjadi semakin mendesak.
Pewarta : Nandang Bramantyo
