
RI News Portal. Jakarta – Aksi unjuk rasa di kawasan Gedung DPR/MPR RI pada Senin (25/8) mendapat atensi serius dari aparat keamanan. Sebanyak 1.250 personel gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diterjunkan untuk memastikan jalannya penyampaian aspirasi publik berlangsung aman, tertib, dan kondusif.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol. Susatyo Purnomo Condro, menegaskan bahwa pengamanan dilakukan dengan pendekatan persuasif dan humanis. “Kami ingin memastikan kegiatan berlangsung aman, tertib, dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat lainnya,” ujarnya.
Berbeda dari paradigma lama yang kerap menampilkan aparat dalam wajah represif, pengamanan kali ini menekankan tanpa penggunaan senjata api serta didahului dengan Tactical Wall Game (TWG) dan apel gabungan. Agenda ini dimaksudkan untuk menyatukan persepsi antarpersonel mengenai peta kerawanan sekaligus merumuskan pola penanganan yang sesuai dengan prinsip proportional force dalam hukum kepolisian modern.

Perspektif akademis melihat langkah ini sebagai bentuk konkret implementasi community policing, yakni strategi pengelolaan keamanan yang menempatkan masyarakat sebagai mitra, bukan objek pengendalian. Dengan demikian, aksi demonstrasi tidak lagi dipandang semata ancaman, melainkan bagian dari ekosistem demokrasi yang perlu dikawal dengan pendekatan dialogis.
Polri mengingatkan massa aksi agar tetap menjaga ketertiban, tidak melakukan tindakan destruktif seperti membakar ban, merusak fasilitas umum, atau menutup akses lalu lintas. Seruan ini mencerminkan titik keseimbangan antara hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan kewajiban negara untuk melindungi kepentingan publik yang lebih luas.
Dalam konteks hukum tata negara, hak untuk berpendapat dan berkumpul dijamin Pasal 28E UUD 1945, namun harus tetap berada dalam koridor hukum positif, khususnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pengamanan humanis yang diterapkan aparat sekaligus menjadi ujian praktik demokrasi Indonesia yang menuntut keseimbangan antara kebebasan sipil dan stabilitas sosial.
Pengamanan aksi juga mencakup rekayasa lalu lintas secara situasional. Warga diimbau menghindari kawasan DPR/MPR RI dan memanfaatkan jalur alternatif agar aktivitas harian tidak terganggu.
Lebih jauh, Susatyo mengingatkan publik agar tidak terjebak provokasi maupun informasi tidak terverifikasi yang beredar di media sosial. Dalam lanskap komunikasi politik kontemporer, potensi disinformasi dan hoaks kerap menjadi pemicu eskalasi massa. Oleh karena itu, imbauan agar masyarakat tetap kritis, selektif, dan menjaga persatuan menjadi bagian integral dari strategi keamanan yang komprehensif.
Kehadiran 1.250 personel gabungan menunjukkan bahwa negara berupaya menghadirkan keamanan dalam arti luas: melindungi hak warga, menjaga fasilitas publik, dan mencegah terjadinya konflik horizontal. Namun, efektivitas strategi ini akan sangat ditentukan oleh konsistensi aparat dalam menerapkan prinsip humanisme dan non-diskriminasi.
Dalam perspektif akademis, pengawalan demonstrasi yang persuasif tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga memperkuat legitimasi negara di mata rakyat. Aksi massa yang berlangsung damai menjadi indikator kematangan demokrasi, sementara penanganan represif justru dapat menimbulkan delegitimasi dan memperlebar jarak antara negara dengan warga.
Pewarta : Yudha Purnama
