RI News Portal. Johannesburg, 23 November 2025 – Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka menegaskan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) berpotensi memperlebar jurang ketimpangan antarnegara jika tidak dikelola dengan prinsip keadilan global. Pernyataan itu disampaikan dalam pidato kunci pada sesi pleno ketiga KTT G20 di Johannesburg Expo Centre, Afrika Selatan, Minggu (23/11/2025), yang mengusung tema “Masa Depan yang Adil dan Berkeadilan untuk Semua: Mineral Kritis, Pekerjaan Layak, dan Kecerdasan Artifisial”.
Dalam pidatonya, Gibran menggarisbawahi paradoks perkembangan AI saat ini: teknologi yang diyakini akan menjadi penggerak utama ekonomi abad ke-21 justru terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi raksasa dan negara-negara maju. “Kita harus bertanya secara jujur: apakah kita sedang bergerak mendekati masa depan yang adil dan setara, ataukah justru semakin menjauh?” tanyanya retoris di hadapan para kepala negara dan pemerintahan G20.
Menurut Gibran, risiko pengulangan pola ketergantungan yang sama seperti pada era industrialisasi sebelumnya—di mana negara berkembang hanya menjadi pemasok bahan mentah—sangat nyata dalam ekosistem AI. Ia mencontohkan ketergantungan AI modern pada mineral kritis seperti litium, kobalt, dan rare earth yang sebagian besar ditambang di negara-negara Selatan Global, namun nilai tambah tertinggi tetap mengalir ke pusat-pusat teknologi di Utara Global.

“AI memang bersifat digital, tetapi fondasi fisiknya tetap bergantung pada mineral kritis. Selama ini negara-negara berkembang hanya mengekspor bahan mentah, sementara keuntungan besar dinikmati pihak lain,” ujarnya. Ia kemudian memaparkan kebijakan hilirisasi Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto sebagai model alternatif: membangun industri pengolahan domestik sehingga nilai tambah tetap berada di dalam negeri, sekaligus membuka pintu investasi yang berbasis transfer teknologi dan praktik pertambangan bertanggung jawab.
Gibran mendorong G20 untuk merumuskan tata kelola AI global yang berpijak pada tiga pilar utama: (1) akses setara terhadap data berkualitas tinggi, (2) keterbukaan sistem pelatihan model AI skala besar, dan (3) demokratisasi platform komputasi awan. Tanpa ketiga elemen tersebut, katanya, negara-negara berkembang akan terus tertinggal dalam perlombaan AI yang semakin akseleratif.
Di sisi ketenagakerjaan, Wapres menegaskan dukungan Indonesia terhadap agenda G20 untuk menjamin upah layak, kesetaraan gender, dan jaring pengaman sosial bagi pekerja yang terdisrupsi otomatisasi. “Revolusi AI harus menjadi kekuatan inklusi, bukan eksklusi,” tegasnya.
Baca juga : Sorotan Publik atas Dugaan Proyek Siluman Paving Blok di Tapian Nauli, Tapanuli Selatan
Menutup pidato, Gibran menyampaikan komitmen Indonesia untuk menjadi mitra aktif dalam membentuk arsitektur teknologi global yang lebih adil. “G20 harus berperan sebagai jembatan antara inovasi dan inklusi, antara kemajuan teknologi dan keadilan sosial-ekonomi. Indonesia siap bekerja sama dengan semua pihak agar revolusi industri keempat ini benar-benar membawa kemakmuran bagi seluruh umat manusia,” pungkasnya.
Pidato Wakil Presiden Gibran di sesi pleno G20 tersebut memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu suara terdepan dari Selatan Global dalam isu tata kelola teknologi dan keadilan sumber daya. Pesan yang disampaikan tidak hanya mencerminkan kepentingan nasional, tetapi juga menawarkan visi konkret bagi kerja sama internasional di tengah percepatan transformasi digital yang tidak merata.
Pewarta : Albertus Parikesit

