RI News Portal. Johannesburg — Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka menegaskan bahwa solidaritas global yang autentik hanya mungkin terwujud jika negara-negara maju dan berkembang sama-sama menempatkan kemanusiaan serta ketahanan jangka panjang di atas kepentingan ekonomi semata. Pernyataan ini disampaikan pada sesi kedua KTT G20 2025 bertajuk “A Resilient World, The G20’s Contribution” di Johannesburg Expo Centre (NASREC), Afrika Selatan, Sabtu (22/11/2025).
Dalam pidatonya, Gibran menekankan dukungan penuh Indonesia terhadap presidensi Afrika Selatan di G20 serta keselarasan agenda tersebut dengan prioritas nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ia menggarisbawahi bahwa bagi Indonesia, konsep ketahanan tidak lagi bersifat abstrak, melainkan menjadi imperatif kehidupan sehari-hari.
“Ketahanan pangan bagi kami bukan sekadar indikator ekonomi, melainkan hak asasi yang paling dasar,” ujarnya. Sebagai bukti konkret, ia menyoroti program Makanan Bergizi Gratis yang menjangkau 80 juta pelajar dan ibu hamil sebagai bentuk investasi strategis dalam pembangunan manusia. Program ini, lanjutnya, secara simultan mendorong permintaan produk lokal, memperkuat rantai pasok petani dan peternak, serta menciptakan multiplier effect bagi perekonomian pedesaan.

Lebih jauh, Gibran mengaitkan pengalaman geografis Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik—dengan rata-rata lebih dari 3.000 kejadian bencana setiap tahun—sebagai laboratorium nyata pembangunan ketahanan berkelanjutan. “Bagi kami, ketahanan bukan slogan kampanye, melainkan realitas yang dihadapi setiap hari oleh jutaan warga,” tegasnya. Pendekatan Indonesia, lanjutnya, mengintegrasikan tiga pilar sekaligus: pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan pelestarian lingkungan.
Di tengah kompleksitas krisis global, Wakil Presiden tidak menyembunyikan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang terus memburuk di beberapa wilayah. Ia secara eksplisit menyebut Gaza, Ukraina, Sudan, dan kawasan Sahel sebagai contoh tragedi yang seharusnya tidak dinormalisasi.
“Penderitaan yang dapat dicegah bukanlah statistik, melainkan kegagalan kolektif kita sebagai komunitas global,” katanya dengan nada yang terukur namun tegas. Menurutnya, G20—yang mewakili 85 persen PDB dunia—memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan, tetapi juga memastikan pertumbuhan itu inklusif dan berkeadilan.
Baca juga : Pemilihan Serentak Ketua RT dan RW 09 Kelurahan Kembangarum Berlangsung Demokratis dan Kondusif
Gibran menutup pernyataannya dengan seruan agar G20 tidak lagi terjebak dalam pendekatan reaktif terhadap krisis, melainkan bertransformasi menjadi penggerak proaktif bagi tata kelola dunia yang lebih manusiawi. “Pertumbuhan ekonomi dan ketahanan harus berjalan beriringan; satu tanpa yang lain hanya akan melahirkan harapan kosong,” pungkasnya.
Pernyataan Wakil Presiden tersebut mendapat respons positif dari sejumlah delegasi negara berkembang yang hadir, yang menilai pendekatan Indonesia berhasil memadukan realisme domestik dengan visi global yang berbasis kemanusiaan. Di tengah ketegangan geopolitik yang masih membayangi forum, nada yang dibawakan Gibran—yang menggabungkan pengalaman konkret sebuah negara berkembang dengan seruan moral universal—dianggap memberikan warna segar dalam diskursus G20 tahun ini.
Pewarta : Albertus Parikesit

