RI News Portal. Jakarta, 17 Desember 2025 – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan vonis pidana penjara terhadap tiga petinggi PT Petro Energy dalam perkara dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada periode 2015–2018. Putusan yang dibacakan pada Selasa (16/12/2025) ini menegaskan bukti kuat atas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut, meskipun hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum.
Ketiga terdakwa—Newin Nugroho (Presiden Direktur PT Petro Energy) divonis 4 tahun penjara, Susi Mira Dewi Sugiarta (Direktur) 6 tahun, serta Jimmy Masrin (Komisaris Utama sekaligus beneficial owner) 8 tahun—dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Hakim ketua menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa telah menghambat upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, sebuah kejahatan berat yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melemahkan fondasi perekonomian nasional serta menghalangi kemajuan bangsa. Korupsi semacam ini, menurut majelis, terus berulang meskipun ada kampanye pencegahan yang intensif. Faktor memberatkan lainnya bagi dua terdakwa (Susi dan Jimmy) adalah ketidakjujuran mereka dalam memberikan keterangan selama persidangan.

Di sisi lain, hal-hal meringankan yang dipertimbangkan mencakup tanggungan keluarga para terdakwa. Khusus bagi Newin Nugroho, sikap kooperatif dan keterusterangannya selama proses hukum menjadi pertimbangan yang mengurangi masa tahanan. Vonis ini memang lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang semula meminta 6 tahun untuk Newin, 8 tahun 4 bulan untuk Susi, serta 11 tahun untuk Jimmy.
Selain pidana badan, ketiga terdakwa dijatuhi denda Rp250 juta subsider 4 bulan kurungan. Jimmy Masrin juga dibebani pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar US$32,69 juta (setara dengan sebagian besar kerugian yang diatribusikan kepadanya), dengan ancaman tambahan 4 tahun penjara jika tidak dipenuhi.
Kasus ini berawal dari penyalahgunaan fasilitas pembiayaan yang seharusnya mendukung ekspor nasional. Para terdakwa didakwa menggunakan kontrak fiktif untuk mengajukan kredit, menyertakan dokumen pendukung seperti purchase order dan invoice yang tidak mencerminkan realitas transaksi, serta mengalihkan dana kredit untuk tujuan di luar perjanjian. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp958,38 miliar, dengan sebagian besar manfaat mengalir kepada Jimmy Masrin sebagai pemilik manfaat utama—termasuk Rp600 miliar dan US$22 juta.
Perbuatan ini diduga dilakukan bersama dua pejabat LPEI, yaitu Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan, yang proses hukumnya dipisah. Kasus PT Petro Energy merupakan salah satu dari serangkaian penyimpangan pembiayaan ekspor yang lebih luas, menyoroti kerentanan tata kelola di lembaga keuangan negara yang bertugas mendorong daya saing ekspor.
Dari perspektif akademis dan kebijakan publik, putusan ini memperkuat narasi bahwa korupsi dalam sektor pembiayaan ekspor tidak hanya menyebabkan kerugian finansial langsung, tetapi juga merusak kepercayaan investor terhadap mekanisme pendanaan negara. Meskipun vonis lebih ringan mencerminkan pertimbangan kemanusiaan, hal itu juga memunculkan diskusi tentang proporsionalitas hukuman dalam kasus korupsi berskala besar. Penguatan pengawasan internal, transparansi dokumen kredit, serta pemisahan ketat antara kepentingan debitur dan kreditor menjadi rekomendasi krusial untuk mencegah rekurensi serupa, demi menjaga integritas program ekspor nasional yang vital bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pewarta : Yogi Hilmawan

