
RI News Portal. Jakarta, 2 Oktober 2025 – Di tengah kompleksitas tantangan yang dihadapi lembaga peradilan Indonesia, muncul gagasan inovatif untuk memperkuat Mahkamah Agung (MA) melalui pembentukan unit intelijen mandiri. Ide ini bukan sekadar respons terhadap masalah internal, melainkan strategi proaktif untuk menjaga independensi yudikatif di era di mana informasi menjadi senjata utama. Berbeda dari liputan media online konvensional yang sering fokus pada skandal atau kasus-kasus sensasional, artikel ini mengeksplorasi perspektif akademis-militer terhadap intelijen, sambil mengintegrasikan analisis risiko institusional dan implikasi jangka panjang bagi reformasi peradilan.
Mahkamah Agung, sebagai puncak kekuasaan yudikatif, bertanggung jawab atas pelaksanaan fungsi peradilan yang mencakup pidana, perdata, hingga pengawasan internal. Namun, ketergantungan pada informasi dari lembaga eksternal seperti kepolisian atau kejaksaan sering kali mengancam prinsip independensi. “Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada data dari pihak lain; hal itu justru bisa mengikis otonomi kita sendiri,” ujar seorang pakar hukum tata negara yang enggan disebut namanya, merujuk pada dinamika antar-lembaga negara.
Gagasan pembentukan unit intelijen ini terinspirasi dari pemahaman militer tentang intelijen sebagai “foreknowledge” – kemampuan untuk mengetahui dan memprediksi ancaman lebih awal. Dalam konteks militer global, intelijen bukan hanya alat pertahanan, tapi juga prediksi strategis yang telah dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat melalui CIA atau Israel via Mossad untuk mengantisipasi risiko. Di Indonesia, lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung sudah memiliki unit intelijen mereka sendiri, begitu pula dengan Bea Cukai, Imigrasi, dan Kementerian Keuangan. Pertanyaannya: mengapa MA belum mengikuti langkah serupa?

Salah satu urgensi utama adalah penguatan pengawasan atas pelaksanaan putusan pidana melalui mekanisme Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat). Hakim Wasmat bertugas memastikan eksekusi vonis berjalan sesuai hukum, termasuk memantau kondisi narapidana dan program pembinaan. Tanpa unit intelijen, MA sering kali kesulitan mengakses informasi real-time tentang keterlambatan eksekusi. “Dengan intelijen internal, kita bisa secara proaktif mengejar lembaga terkait jika putusan tertunda, mencegah kasus seperti vonis yang menguap begitu saja,” jelas seorang analis peradilan dari Universitas Indonesia.
Contoh nyata: kasus-kasus di mana narapidana bebas tanpa pengawasan yang ketat sering kali menimbulkan kontroversi publik. Unit intelijen bisa menyediakan data prediksi tentang potensi pelanggaran, sehingga MA tidak lagi pasif menunggu laporan dari luar.
Di ranah perdata, masalah eksekusi putusan menjadi momok. Berdasarkan data internal MA, hingga akhir 2024, terdapat ribuan putusan yang belum dieksekusi, dengan faktor keamanan sebagai salah satu penghambat utama. “Angka itu mencerminkan kerentanan sistem kita terhadap ancaman eksternal,” kata seorang hakim senior. Unit intelijen mandiri akan memungkinkan MA melakukan asesmen risiko sendiri, tanpa bergantung pada intelijen polisi atau militer.
Bayangkan skenario di mana eksekusi aset dalam sengketa tanah terhambat karena ancaman kekerasan dari pihak kalah. Dengan kemampuan prediksi intelijen, MA bisa mengidentifikasi potensi konflik lebih dini, memastikan proses berjalan aman dan adil. Ini bukan hanya tentang efisiensi, tapi juga tentang mempertahankan kepercayaan publik terhadap yudikatif.
Lebih dari sekadar eksternal, unit intelijen juga bisa menjadi alat pembinaan internal. Di institusi seperti Polri, intelijen mendukung pengawasan pegawai untuk mencegah korupsi atau pelanggaran etik. Di MA, hal serupa dibutuhkan untuk memitigasi risiko seperti suap atau intervensi politik. “Peralatan canggih seperti penyadapan, jika diatur dengan ketat, bisa membantu pimpinan mengambil keputusan berbasis bukti,” tambah pakar tersebut.
Ini sejalan dengan tren global di mana lembaga yudikatif seperti Supreme Court Amerika menggunakan tim investigasi internal untuk menjaga integritas. Di Indonesia, dengan sejarah kasus suap hakim, unit ini bisa menjadi benteng pencegahan.
Ancaman terhadap aparatur peradilan bukan fiksi: dari pembakaran gedung pengadilan hingga teror terhadap hakim, insiden semacam ini pernah terjadi. Unit intelijen bisa memetakan perkara sensitif yang berpotensi memicu reaksi publik, memberikan peringatan dini untuk langkah pengamanan. “Kita perlu tahu mana kasus yang ‘panas’ sebelum menjadi bencana,” ujar seorang advokat senior.
Selain itu, unit ini bisa mengawal program reformasi MA, seperti digitalisasi peradilan atau peningkatan transparansi. Di lembaga lain, intelijen memastikan kebijakan tidak terganggu oleh sabotase internal atau eksternal, meminimalkan risiko sekecil apa pun.
Secara akademis, gagasan ini mengajak kita merenungkan definisi intelijen sebagai kecerdasan prediksi, bukan sekadar pengumpulan data. Dalam konteks militer, “intelligence is foreknowledge” telah menyelamatkan negara dari krisis; di yudikatif, hal sama bisa memperkuat fondasi demokrasi. Penulis asli gagasan ini meyakini bahwa manfaat-manfaat di atas hanyalah permukaan; potensi lebih besar terletak pada pengurangan ketergantungan antar-lembaga, yang sering kali menjadi celah intervensi.
Tentu, pembentukan unit ini harus dibarengi regulasi ketat untuk menghindari penyalahgunaan, seperti batasan wewenang dan pengawasan independen. Apakah MA siap melangkah? Pertanyaan ini bukan hanya untuk warga peradilan, tapi seluruh masyarakat yang menginginkan sistem hukum yang mandiri dan tangguh.
Artikel ini disusun berdasarkan analisis mendalam terhadap dinamika peradilan Indonesia, dengan harapan memicu diskusi konstruktif di kalangan akademisi, praktisi hukum, dan pembuat kebijakan. Untuk perspektif lebih lanjut, ikuti update di platform kami yang fokus pada isu hukum inovatif.
Pewarta : Yudha Purnama
