
RI News Portal. Yerusalem, 15 September 2025 – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan upaya pembunuhan terhadap pemimpin senior Hamas yang diasingkan di Qatar pada awal pekan ini, sebuah langkah berisiko yang bertujuan untuk melemahkan kelompok militan tersebut dalam perang yang telah berlangsung hampir dua tahun di Jalur Gaza. Namun, kegagalan misi ini telah memicu dampak signifikan terhadap posisi geopolitik Israel, hubungan diplomatik dengan mediator kunci, dan prospek gencatan senjata.
Operasi ini merupakan bagian dari strategi Netanyahu untuk mencapai “kemenangan total” atas Hamas, kelompok yang melancarkan serangan mematikan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Dengan serangan udara di Doha, Netanyahu berharap dapat menghabisi pimpinan senior Hamas yang sedang membahas proposal gencatan senjata baru dari Amerika Serikat. Menurut Harel Chorev, pakar urusan Arab dari Universitas Tel Aviv, keberhasilan operasi ini bisa memberikan Netanyahu legitimasi untuk mengklaim kehancuran Hamas, sebuah tujuan simbolis dan strategis dalam konflik yang telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan krisis kemanusiaan di Gaza.
Namun, Hamas mengklaim bahwa pemimpin mereka selamat dari serangan tersebut, meskipun tanpa bukti visual yang dikonfirmasi. Serangan ini menewaskan lima anggota Hamas level rendah dan seorang penjaga keamanan Qatar, tetapi gagal mencapai target utama. Kegagalan ini tidak hanya memperlemah narasi kemenangan Netanyahu, tetapi juga memperburuk hubungan Israel dengan Qatar, sekutu penting AS dan mediator utama dalam negosiasi gencatan senjata.

Serangan udara tersebut memicu kemarahan Qatar, yang telah memainkan peran penting dalam dua gencatan senjata sebelumnya, membebaskan 148 sandera dengan imbalan ribuan tahanan Palestina. Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menyatakan bahwa serangan ini merusak validitas pembicaraan gencatan senjata saat ini, meskipun ia tidak menutup kemungkinan untuk melanjutkan mediasi. Pernyataan ini mencerminkan ketegangan diplomatik yang signifikan, terutama karena Qatar telah menjadi saluran komunikasi kunci antara Israel dan Hamas.
Di arena internasional, serangan ini menuai kecaman luas di dunia Arab dan memperumit hubungan Israel dengan Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump, yang telah memberikan dukungan kuat kepada Netanyahu sejak kembali berkuasa, menyatakan ketidaksenangannya atas serangan tersebut dan menjamin Qatar bahwa insiden serupa tidak akan terulang. Meski demikian, Trump tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengambil tindakan tegas terhadap Israel, yang menunjukkan dinamika kompleks dalam hubungan segitiga antara Israel, Qatar, dan AS.
Baca juga: Selembar Surat Sakti PLT, Asisten 1 Membuat Sengsara Masyarakat Angkola Timur dan Sipirok
Di dalam negeri, Netanyahu menghadapi tekanan dari koalisi garis kerasnya, yang menuntut operasi militer yang lebih agresif di Kota Gaza. Anggota sayap kanan ekstrem mengancam akan menggulingkan pemerintahannya jika Israel tidak memperluas operasi militer, meskipun langkah ini ditentang oleh sebagian pimpinan militer dan mayoritas publik Israel. Menurut Yohanan Plesner, presiden Institut Demokrasi Israel, kelangsungan politik Netanyahu dalam jangka pendek lebih bergantung pada dukungan koalisi daripada opini publik, yang sebagian besar mendukung gencatan senjata untuk membebaskan 20 sandera yang masih diyakini hidup di Gaza.
Kegagalan operasi di Qatar juga memicu keprihatinan mendalam di kalangan keluarga sandera. Einav Zangauker, ibu dari salah satu sandera, Matan, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Netanyahu yang dianggap menghancurkan peluang negosiasi. “Mengapa perdana menteri bersikeras untuk menghancurkan setiap peluang untuk kesepakatan?” tanyanya, mencerminkan sentimen frustrasi yang meluas di kalangan keluarga sandera.
Serangan ini menandai pergeseran strategi Israel, dari menjaga saluran komunikasi dengan Qatar menuju pendekatan militer yang lebih konfrontatif. Menurut Chorev, tindakan ini menunjukkan bahwa Israel “telah menyerah pada negosiasi” dan memilih untuk “memutus hubungan dengan Qatar.” Langkah ini berpotensi memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, di mana militer Israel telah memerintahkan evakuasi penuh wilayah yang dihuni sekitar 1 juta orang menjelang operasi militer yang diperluas.
Sementara itu, komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa, terus mendesak penghentian perang. Sejumlah negara Barat berencana mengakui negara Palestina di Dewan Keamanan PBB pada akhir bulan ini, sebuah langkah yang kemungkinan akan memperdalam isolasi diplomatik Israel. Gayil Talshir, ilmuwan politik dari Universitas Ibrani, berpendapat bahwa hanya intervensi langsung dari Trump yang dapat mengubah arah konflik ini, dengan memaksa Israel untuk menghentikan operasi militernya.
Upaya pembunuhan yang gagal di Qatar telah memperumit posisi Netanyahu, baik di dalam negeri maupun di panggung internasional. Dengan meningkatnya ketegangan diplomatik, terhambatnya negosiasi gencatan senjata, dan tekanan dari koalisi garis keras, Netanyahu menghadapi tantangan besar untuk mencapai tujuannya. Sementara itu, nasib sandera yang tersisa di Gaza tetap menjadi isu kemanusiaan yang mendesak, dengan sedikit harapan untuk resolusi cepat di tengah eskalasi konflik yang terus berlanjut.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
