
RI News Portal. Dubai, 4 September 2025 – Uni Emirat Arab (UEA) mengeluarkan peringatan keras kepada Israel terkait rencana potensial untuk mencaplok Tepi Barat yang diduduki, menyebutnya sebagai “garis merah” yang dapat mengguncang hubungan diplomatik yang dibangun melalui Perjanjian Abraham 2020. Peringatan ini muncul di tengah eskalasi operasi militer Israel di Kota Gaza, yang telah menewaskan puluhan warga sipil dan memicu protes massal di Israel.
Anwar Gargash, diplomat senior UEA, melalui platform X menyatakan bahwa pencaplokan Tepi Barat akan menjadi pelanggaran serius terhadap semangat integrasi regional yang menjadi inti Perjanjian Abraham. Dalam pernyataan yang dikutip oleh Times of Israel, Lana Nusseibeh, diplomat UEA lainnya, menegaskan bahwa langkah tersebut akan “merusak visi dua negara yang hidup berdampingan dalam damai, kemakmuran, dan keamanan.” Meski demikian, UEA belum mengklarifikasi tindakan konkret yang akan diambil jika Israel melanjutkan rencana pencaplokan.
Sementara itu, operasi militer Israel di Gaza terus berlanjut, dengan serangan udara dan darat di Kota Gaza menewaskan sedikitnya 31 orang sepanjang Selasa malam hingga Rabu, menurut laporan rumah sakit setempat. Di antara korban, 15 orang tewas di Kota Gaza, termasuk dua anak-anak dan empat perempuan, sementara 16 lainnya, termasuk 10 yang sedang mencari bantuan kemanusiaan, tewas di Gaza selatan. Israel mengklaim bahwa operasi ini menargetkan militan Hamas, yang dituduh beroperasi di kawasan padat penduduk, sehingga menyebabkan korban sipil.

Di dalam negeri, Israel menghadapi gelombang protes nasional terhadap kebijakan pemerintah yang memanggil 60.000 pasukan cadangan untuk operasi di Gaza. Demonstran menuduh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memperpanjang konflik demi kepentingan politik, alih-alih mengejar gencatan senjata dengan Hamas untuk membebaskan sandera yang ditahan sejak serangan 7 Oktober 2023. Serangan tersebut, yang memicu perang, menewaskan sekitar 1.200 orang—sebagian besar warga sipil—dan menyandera 251 orang, dengan 48 di antaranya masih ditahan di Gaza.
Krisis kemanusiaan di Gaza semakin parah, dengan Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa enam orang, termasuk satu anak, meninggal akibat malnutrisi dalam sehari terakhir, menambah jumlah korban kelaparan menjadi 367 sepanjang perang. Data ini bertentangan dengan pernyataan Netanyahu, yang membantah adanya krisis kelaparan di Gaza, meskipun laporan dari para ahli dan pekerja bantuan menunjukkan sebaliknya. Kementerian tersebut juga mencatat bahwa lebih dari 63.600 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel sejak perang dimulai, dengan sekitar setengahnya adalah perempuan dan anak-anak.
Baca juga : Aksi Damai Mahasiswa UIN Syahada Padangsidimpuan Berlangsung Kondusif di Kantor DPRD
Di Tepi Barat, ketegangan meningkat setelah Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich mempresentasikan peta yang menggambarkan pencaplokan sebagian besar wilayah tersebut, dengan otonomi terbatas untuk enam kota Palestina. Rencana ini, yang belum diketahui mendapat dukungan penuh dari Netanyahu, telah memicu kekhawatiran bahwa solusi dua negara—yang didukung luas oleh komunitas internasional—akan semakin sulit dicapai.
Sementara itu, di Yerusalem Timur, polisi Israel menangkap Tony Sabella, pemilik kafe dan toko buku The Gateway, yang dikenal sebagai pusat kegiatan intelektual. Pengacara Sabella, Nasser Odeh, menyebut penahanan ini sebagai bagian dari upaya untuk menekan aktivitas budaya Palestina, dengan polisi menyita lima buku tanpa surat perintah. Insiden ini menambah daftar penggerebekan terhadap toko buku Palestina di wilayah tersebut tahun ini.
Badan keamanan dalam negeri Israel, Shin Bet, juga mengumumkan penahanan sel Hamas di Tepi Barat yang diduga merencanakan pembunuhan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menggunakan drone bersenjata. Meski rincian plot tersebut belum sepenuhnya terungkap, langkah ini menunjukkan meningkatnya ketegangan keamanan di wilayah tersebut.
Konflik yang terus berlanjut ini tidak hanya memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza, tetapi juga mengancam stabilitas hubungan diplomatik yang baru terjalin antara Israel dan negara-negara Arab, khususnya UEA. Dengan meningkatnya isolasi internasional Israel dan tekanan domestik yang semakin kuat, masa depan Perjanjian Abraham dan prospek perdamaian di kawasan tetap berada di ujung tanduk.
Pewarta : Setiawan Wibisono
