RI News Portal. Jakarta 30 Oktober 2025 – Dalam perkembangan terbaru sektor hukum pidana ekonomi di Indonesia, tiga mantan pimpinan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) menghadapi tuntutan berat atas dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp1,25 triliun. Kasus ini, yang melibatkan proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara pada periode 2019-2022, menyoroti kerentanan tata kelola perusahaan negara dalam menghadapi risiko kolusi bisnis.
Sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat pada Kamis ini menyajikan tuntutan pidana penjara bagi para terdakwa. Ira Puspadewi, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT ASDP dari 2017 hingga 2024, dituntut 8 tahun dan 6 bulan penjara. Sementara itu, Muhammad Yusuf Hadi, Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019-2024, serta Harry Muhammad Adhi Caksono, Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020-2024, masing-masing dituntut 8 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawan Yunarwanto, juga menuntut denda sebesar Rp500 juta untuk masing-masing terdakwa, dengan subsider pidana kurungan 4 bulan jika denda tidak dibayar.
Dasar hukum tuntutan ini merujuk pada Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Para terdakwa diduga bertindak bersama Adjie, pemilik manfaat PT Jembatan Nusantara, dalam mempermudah pelaksanaan Kerja Sama Operasi yang akhirnya berujung pada akuisisi saham, sehingga memperkaya pihak swasta tersebut senilai Rp1,25 triliun.

Dari perspektif akademis, kasus ini mengilustrasikan kegagalan prinsip good corporate governance di badan usaha milik negara. Para terdakwa diduga menerbitkan keputusan direksi yang mengecualikan persyaratan standar untuk kerja sama usaha, menandatangani perjanjian sebelum mendapat persetujuan dewan komisaris, dan mengabaikan analisis risiko dari tim internal. Hal ini sejalan dengan studi-studi hukum ekonomi yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam merger dan akuisisi, di mana ketidakpatuhan dapat memicu kerugian sistemik bagi perekonomian nasional.
Jaksa mempertimbangkan faktor pemberat seperti ketidakakuan terdakwa mengakui perbuatan, sikap berbelit-belit dalam memberikan keterangan, serta kontradiksi dengan agenda pemerintah dalam memerangi korupsi. Di sisi lain, faktor meringankan mencakup sikap sopan selama persidangan dan rekam jejak tanpa hukuman sebelumnya. Analisis ini menggarisbawahi dinamika pertimbangan hukum pidana di Indonesia, di mana elemen subjektif seperti sikap terdakwa memengaruhi bobot tuntutan, sebagaimana dibahas dalam literatur kriminologi modern
Baca juga : Gravenberch Berpeluang Kembali, Liverpool Bidik Kebangkitan Lawan Villa
Lebih jauh, implikasi kasus ini terhadap sektor transportasi laut patut dicermati. Akuisisi yang diduga melibatkan kapal-kapal tua dari PT Jembatan Nusantara berpotensi mengganggu efisiensi layanan feri nasional, yang krusial bagi konektivitas antarwilayah di negara kepulauan seperti Indonesia. Dari sudut pandang ekonomi politik, perkara ini menegaskan perlunya reformasi pengawasan internal di perusahaan negara untuk mencegah penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat.
Kuasa hukum para terdakwa menyatakan kekecewaan atas tuntutan, menyebutnya tidak sesuai fakta persidangan dan mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pendekatan akademis terhadap kasus semacam ini menyarankan agar putusan akhir mempertimbangkan bukti empiris secara holistik, demi memperkuat keadilan dan pencegahan korupsi di masa depan.
Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi sistem peradilan anti-korupsi Indonesia, tetapi juga pelajaran berharga bagi praktisi hukum dan manajemen perusahaan dalam menavigasi kompleksitas kemitraan bisnis.
Pewarta : Yudha Purnama

