
RI News Portal. Boyolali 27 Juni 2025 — Lagi-lagi panggung kebobrokan negeri ini mempertontonkan absurditas penegakan hukum yang seolah hanya tegas kepada rakyat kecil, namun mendadak tuli ketika berhadapan dengan para mafia subsidi yang rakus mencongkel hak masyarakat. Tepat pada Kamis, 26 Juni 2025, pukul 03.15 dini hari, tim awak media menemukan drama busuk ini di SPBU 44.573.12 Jl. Raya Boyolali-Semarang, wilayah Tanduk, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Tak ubahnya pasar gelap berjubah legalitas, beberapa motor ber-rombong dan gerombolan jerigen 19 liter tampak mondar-mandir menyedot jatah solar bersubsidi, Pertalite, demi kepentingan para serakah yang bahkan tak merasa bersalah menggorok subsidi negara. Ironis, praktik pengangsuan ini difasilitasi oleh operator SPBU sendiri, membuktikan sindikat ini berjalan Tersetruktur, Sistematis, Masif (TSM), bahkan terkoordinasi rapi seperti operasi militer.
Bukan main, para pengangsu ini bolak-balik melakukan pembelian dan menampung BBM bersubsidi di lokasi cuci motor yang sudah tutup, lalu memindahkannya ke galon-galon plastik bekas air mineral. Dari investigasi tim media, terbongkar bahwa aktor intelektual di balik operasi ini adalah seseorang bernama Muhammad, pedagang rokok ilegal di sekitar Pasar Ampel, yang tak segan mencatut nama oknum aparat sebagai tameng kebal hukum.

Jika bukan sebuah penghinaan terhadap keadilan, lalu apa lagi? Negara jelas-jelas sudah mengamanatkan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, bahwa penyalahgunaan BBM bersubsidi adalah tindak pidana. Bahkan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menegaskan ancaman penjara 6 tahun dan denda hingga Rp60 miliar bagi para perusak subsidi ini. Namun, mafia BBM seolah menertawakan hukum sambil berbisnis haram di siang bolong — atau tepatnya, dini hari bolong.
Pertanyaannya, ke mana taring Aparat Penegak Hukum (APH) Polsek Ampel, Polres Boyolali, hingga Polda Jawa Tengah? Apakah aparat hanya seberani menggusur pedagang kaki lima, sementara para penyedot subsidi negara dibiarkan menari-nari di atas penderitaan rakyat? Jangan-jangan hukum kita sekadar macan kertas yang hanya bisa mengaum di depan rakyat jelata?
Lebih memuakkan lagi, praktik mafia BBM ini memanfaatkan harga murah subsidi untuk kemudian dijual ke kios eceran atau bahkan industri dengan harga lebih tinggi, mencuri dari rakyat dan mencuri dari negara sekaligus. Secara de jure, Muhammad dan kaki tangannya melanggar setidaknya:
- Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas (penyalahgunaan BBM subsidi)
- Pasal 362 KUHP (pencurian)
- Pasal 423 KUHP (penyalahgunaan wewenang jabatan jika terbukti ada oknum aparat yang membackup)
- Pasal 374 KUHP (penggelapan dalam jabatan jika operator SPBU terlibat)
Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, tetapi sudah menjadi skema kejahatan ekonomi dan moral yang terorganisir. Negara dirampok, rakyat dibodohi, hukum ditertawakan — sebuah tragedi legal yang menjijikkan.
Tim media mendesak, bukan sekadar berharap, agar penegak hukum segera menciduk para pelaku mafia subsidi ini — bukan hanya para tukang angkut di lapangan, tetapi juga aktor intelektual di belakangnya. Jika tidak, maka publik berhak menilai bahwa hukum di negeri ini benar-benar hanya panggung sandiwara, di mana aparat berseragam hanyalah figuran tak bergigi.
Cukuplah sudah subsidi dijarah demi perut gendut segelintir mafia. Negara butuh bukti bahwa supremasi hukum tidak lagi dikalahkan oleh jaringan gelap yang membajak hak rakyat. Kalau benar aparat penegak hukum masih punya kehormatan, sudah saatnya Boyolali dijadikan contoh bersih-bersih mafia solar sampai ke akar-akarnya — bukan hanya omong kosong seperti biasanya.
Pewarta : Miftahkul Ma’na
