
RI News Portal. Istanbul, 15 September 2025 – Serangan udara Israel terhadap pertemuan pejabat Hamas di Qatar telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di Turki, yang kini mempertanyakan apakah negara ini akan menjadi sasaran berikutnya dari operasi militer Israel. Ketegangan yang meningkat ini mencerminkan dinamika geopolitik yang kompleks di kawasan Timur Tengah, di mana hubungan Turki-Israel yang semula erat kini berada pada titik terendah akibat perang di Gaza dan persaingan pengaruh di Suriah.
Menurut Laksamana Muda Zeki Akturk, juru bicara Kementerian Pertahanan Turki, dalam pernyataannya di Ankara pada Kamis lalu, Israel berpotensi “memperluas serangan sembrononya seperti yang terjadi di Qatar, yang dapat menyeret seluruh kawasan, termasuk Israel sendiri, ke dalam bencana.” Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran Turki atas pola serangan Israel yang tampaknya tidak terhalang oleh batas-batas kedaulatan negara tetangga, seperti yang terlihat di Iran, Suriah, Yaman, dan kini Qatar.
Hubungan Turki-Israel, yang pernah menjadi kemitraan strategis di kawasan, mulai memburuk sejak akhir 2000-an dan semakin tegang akibat serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di Israel selatan, yang memicu perang Gaza. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang dikenal sebagai pendukung kuat perjuangan Palestina dan kelompok Hamas, telah melontarkan kritik keras terhadap Israel, khususnya terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dengan menuduhnya melakukan genosida dan membandingkannya dengan Adolf Hitler. Hubungan erat Turki dengan Qatar, yang juga menjadi tuan rumah pejabat Hamas, serta kunjungan rutin mereka ke Turki, semakin memperumit dinamika ini. Israel sebelumnya menuduh Turki memfasilitasi Hamas untuk merencanakan serangan, merekrut anggota, dan menggalang dana dari wilayahnya.

Ketegangan antara Turki dan Israel tidak hanya terbatas pada isu Gaza, tetapi juga meluas ke Suriah pasca-jatuhnya pemerintahan Bashar Assad pada 2024. Turki mendukung pemerintahan interim Suriah dan berupaya memperluas pengaruhnya, termasuk dalam ranah militer. Sebaliknya, Israel memandang pemerintahan baru dengan kecurigaan, merebut zona penyangga yang dipantau PBB di Suriah selatan, melancarkan ratusan serangan udara terhadap fasilitas militer Suriah, dan memposisikan diri sebagai pelindung minoritas Druze. Persaingan ini telah menempatkan kedua negara pada jalur konfrontasi, dengan potensi eskalasi lebih lanjut di kawasan Mediterania timur, khususnya terkait kehadiran militer Turki di Siprus utara.
Serhat Suha Cubukcuoglu, direktur program Turki di Trends Research and Advisory, menilai bahwa serangan Israel di Qatar, sebuah sekutu dekat AS yang berperan sebagai mediator gencatan senjata Gaza, menunjukkan strategi Israel untuk menciptakan “zona penyangga terpecah dari negara-negara lemah di sekitarnya.” Ia memperingatkan bahwa kemampuan Israel untuk melakukan serangan lintas batas dengan tampaknya tanpa hambatan menimbulkan preseden berbahaya bagi Turki. “Kekhawatiran Ankara semakin besar karena Israel tampaknya mampu mengabaikan pertahanan udara regional dan norma internasional,” ujarnya.
Baca juga : Upaya Pembunuhan Pemimpin Hamas di Qatar: Implikasi Politik dan Diplomatik
Menghadapi ancaman tersebut, Turki telah meningkatkan kesiapan militernya. Pada Juni 2025, saat Israel menyerang fasilitas nuklir Iran, Erdogan mengumumkan peningkatan produksi misil. Bulan lalu, Turki meresmikan sistem pertahanan udara terpadu “Steel Dome” dan mempercepat pengembangan pesawat tempur generasi kelima KAAN. Sebagai anggota NATO, Turki memiliki keunggulan militer yang signifikan dibandingkan Qatar, dengan angkatan bersenjata terbesar kedua di aliansi tersebut setelah AS, serta industri pertahanan yang maju.
Namun, Ozgur Unluhisarcikli, direktur German Marshall Fund di Ankara, menilai bahwa meskipun serangan udara Israel di wilayah anggota NATO seperti Turki sangat tidak mungkin, serangan terbatas seperti bom atau operasi senjata oleh agen Israel terhadap target Hamas di Turki tetap menjadi ancaman nyata. Cubukcuoglu menambahkan bahwa serangan di Qatar dapat memperkuat komitmen Turki terhadap Hamas, karena meninggalkan kelompok tersebut akan melemahkan pengaruh regional Turki, sementara tetap mendukungnya memperkuat posisi Turki sebagai pembela perjuangan Palestina.
Di Suriah, ketegangan antara Turki dan Israel semakin nyata. Turki telah menandatangani perjanjian dengan Damaskus untuk memberikan pelatihan dan saran militer kepada angkatan bersenjata Suriah, sementara Israel terus melancarkan serangan untuk melemahkan potensi ancaman dari pemerintahan baru. Pada April 2025, kedua negara mengadakan pembicaraan untuk membentuk mekanisme de-eskalasi di Suriah setelah serangan Israel terhadap pangkalan udara yang diduga akan digunakan Turki. Namun, pernyataan Netanyahu bahwa pangkalan Turki di Suriah merupakan “bahaya bagi Israel” menunjukkan tantangan dalam meredakan konflik.
Erdogan tampaknya juga mengandalkan dukungan AS untuk mencegah agresi Israel. Meskipun Netanyahu berupaya mendapatkan dukungan dari Presiden AS Donald Trump, Trump justru memuji Erdogan atas pengaruhnya di Suriah dan mendesak Netanyahu untuk bersikap “masuk akal.” Namun, serangan di Qatar menunjukkan bahwa hubungan erat dengan Washington tidak selalu menjamin perlindungan dari Israel.
Serangan Israel di Qatar telah memperdalam kecemasan Turki akan potensi ancaman serupa di wilayahnya, sekaligus memperumit dinamika geopolitik di Timur Tengah. Dengan memperkuat pertahanan militernya dan menjalankan diplomasi aktif, Turki berupaya mencegah konflik langsung sambil mempertahankan pengaruhnya di kawasan. Namun, seperti yang diungkapkan Unluhisarcikli, serangan di Qatar menunjukkan bahwa “tidak ada batas” bagi tindakan pemerintah Israel, menjadikan eskalasi lebih lanjut sebagai ancaman nyata bagi stabilitas regional.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
