
RI News Portal. Semarang, Mengupas tentang sejarah Baju perang ksatria Nusantara lama.
A. Unsur Nama “–Varmman” dalam Kaitan dengan Baju Zirah
1. Ragam Sebutan dan Bentuk Baju Perang
Ada baju yang bukan sembarang baju. Apakah itu? Batu itu adalah “baju perang”, yaitu : suatu pakaian pelindung, yang dipergunakan secara khusus untuk menangkis atau menyerap dam-pak senjata atau benda yang bisa melukai, ba- baik pada tubuh mau- pun kendaraan. Bahasa Indonesia memiliki sebutan buat baju perang, yaitu “baju zirh”, yang menunjuk kepada : baju besi atau baju rantai yang dikenakan manaka-la berperang pada zaman dahulu ,(KBBI, 2002). Istilah “zirah” identik dengan : pakaian perlin- dung ntuk berperang pada zaman daulu. Pada ma- sa modern polisi dan tentara juga menggu-nakan zirah yang lebih ringan dan fleksibel.

Terdapat juga sebutan “harnas” di dalam bahasa Inggris, yang berarti : perisai atau baju zirah. Selain itu ada sebutan pada bahasa Inggris “body armour” yang menunjuk : pakaian atau lapisan pelindung, yang dikenakan untuk melindungi tubuh maupun kendaraan dari senjata atau proyektil yang dapat memberi luka fisik. Baju zirah juga dapat digunakan untuk melindungi kendaraan dari benda atau senja- ta yang dapat melukai. Perangkat pelindung tubuh ini berupa baju zirah pribad (armour), atau dapat berupa setelan berlapis baja (armoured), bahkan berupa.mantel zirah. Tak semua baju zirah terbuat dari bahan ligam. Baju zirah tembaga diperuntuk- kan bagi para pemimpin,. Untuk para prajurit dike- Nakan baju zirah yang terbuat dari kulit. Bagian tubuh yang dilindungi bukan hanya dada, tapi juga bagian punggung, yang dilindungi dengan menggu- nakan “syiryon”. Un- tuk bagian kaki digundukan penu-tup kaki, an-tara lututhingga pergelangan kaki, yang dibuat dari tembaga, atau dapat juga sejenis sepatu — dalam bahasa Ibrani “mitskhat”.
Konon ada negara tertentu yang menetapkan baju zirah sebagai “pakaian wajib” bagi para prajuritnya Misal, Goliat memiliki baju zirah dari bahan temba- ga bersisik. Baju zirah Ahab diperlengkapi dengan klep-klep dari kulit, yang digantungkan di pinggang. Ada pula baju zirah ringan, terdiri dari pelat-pelat baja kecil ygang dijahitkan pada suatu dasar dari kulit. Ada yang berupa pelat-pelat kecil persegi pan- jang agar baju zirah lebih lemas, atau pelat-pelat bundar. Tidak jarang baju zirah dilengkapi dengan paku-paku besi sebagai penguat sisik-sisiknya .Un- tuk menjahitkan komponen pelindung logam pada kulit, ada yang dijahitkan secara vertikal dengan se- utas tali, atau kadang secara horizontal.
Baju zirah bersisik telah digunakan pada abad 15 SM, seperti terbukti oleh adanya penemuan di Ras Syamra (Ugarit), Boghazkoi, dan Alalah. Baju zirah yang berupa pelat-pelat liga ditemu-kan di Nuzi, ya- itu sebuah kota Mesopotamia kuno di barat daya kota Arrapha (kini Kirkuk). Ada juga penemuan di Asyur pada buku sungai Tigris Zaman Perunggu Pertengahan, berupa lempeng-lempeng bertulis dari istana yang di- dalamnya mencatat tentang baju zirah untuk kereta perang dan kuda. Temuan baju zirah di Yunani disebut “thorax”, yang digunakan un- tuk melindungi gajah-gajah perang.
Baju zirah untuk pertempuran berbahan logam bia- sanya memiliki berat 20–25 kg. Sedangkan yang terbuat dari bahan non-logam, seperti da-ri kulit kulit tebal digunakan untuk mengatasi serangan dan goresan ringan tentu tidak seberat itu. Pada tradisi Samurai Jeoang misalnya, baju zirah dike- nakan oleh para prajurit kavaleri berpangkat tinggi, yang dirkenal kuat dan artis-tik. Etnik Papua pun memiliki baju zirah, yang dibuat dari simpul-simpul halus serat kulit ka- yu. Ditilik dari bahan dan kom- ponennya, ada : (a) baju zirah rantai, terbuat dari jalinan rantai;(b) baju zirah sisik yang berbentuk sisik; (c) ba-ju irah lempeng, yang terbuat dari lem- pengan padat, (d) kuiras, yaitu zirah dari lempeng logam, yang dibentuk sesuai tubuh. Baju zirah kuno memiliki kesan yang gahar, kuat, tahan banting, be- rat, dan keras. Salah senuah yang terkenal adalah lamellar, yang konon dipakai di penjuru dunia. Pada masa modern, basana yang serupa baju zirah yang dikenakan oleh polisi dan tentara, dengan bentuk fi- sik lebih ringan dan fleksibel. Misalnya, rompi anti peluru, sebagai perkembangan termaju dari zirah
Baca juga : Bentuk Motif Hiasan Batik “PRAJNAPATAMITA” Pada Fragmen Arca Situs Muara Jambi
2. Kata Sanskreta “Varman” dan Sebutan Lain untuk Pelindung Diri dalam Perang
Dalam bahasa Sanskreta, kata “varmman (varian sebutannya “varman atau warman”). Pada kamus ”A Sanskrit-English Dictionary” karang-an Sir Monier Monier-William, 1899, kosa kata “varmman (वर्म्मन)” merujuk kepada beberapa arti sebagai berikut : (1) Envelope, berarti wadah, penutup, atau sarung guna melindungi benda tertentu, (2) armour atau defen- sive armour, yang berar-ti perisai atau tameng, (3.) coat of mail, yang berarti baju jirah atau baju pelin- dung tubuh da-lam pertempuran masa lalu terbuat dari kulit atau logam, (4) bulwark, yang berarti ben- teng pertahanan pada masa lalu untuk melindungi suatu bangunan, pemukim-an atau kota; (5) shelter, yaitu tempat berlin-dung yang bersifat sementara dan tidak per-manen; (6) potection, yang artinya si- kap atau aksi melindungi seseorang atau sesuatu yang penting dan berharga seperti masyarakat dan negara;.(7) defence, ang artinya sikap atau aksi melindungi atau bertahan dari suatu agresi pihak luar, ( bark ,artinya kulit pohon, yang melindungi bagian keras kayu pohon; (9) rind, artinya kulit atau bagian pelindung luar pada buah-buahan; (10) the name of ksatriyas, artinya nama yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang atau keluarga dari kasta Ksatria; dan.(11.) the names of prayer, yaitu sejutan untuk sebuah rumusan dan peribadat- an terkait kata “Om, Um, Aum atau Hum” di dalam tradisi Hindu Kuno.
Pada beberapa alternasi arti tersebut, arti no-mor 3, yaitu “coat of mail”, menjunjuk pada : baju jirah atau baju pelindung tubuh dalam pertempuran masa lalu yang terbuat dari kulit atau logam. Oleh karena me- rupakan “baju khusus” berkenaan dengan perang, maka baju ini secara khusus dikenakan oleh prajurit atau tentara, ataupun raja dan pembesar kerajaan (arti no..10). Bahkan, tidak sedikit para raja yang menjadikan kata “varmman” sebagai unsur nama dalam nama gelar (abhisekana-ma)-nya Kebera- daan baju zirah telah disebut dalam kitab Rigveda (Ralph TH Griffith ,1896), yang menyebut kalimat “….. jadilah pemenang dengan tubuh yang tak terlu- ka: maka biarlah ketebalan surat berantaimu melin- dungimu. Bagian dari tubuhmu yang vital kututupi dengan baju zirahmu: dengan keabadian. Kukena,- kan padamu ……”. Rig Veda/Mandala 1 (Nyanyian 31) menyatakan “…. bagaikan baju zirah yang dija- hit dengan baik …”.
Sejarahwan Edward Washburn Hopkins menyata- kan bahwa baju besi merupakan logam penutupi tubuh dan dihubungkan dengan kabel. Sementara di kepala, beberapa potongan logam dihubungkan ber- sama untuk membuat helm (disebut juga dengan “ketopong”. Pelinfung kepala ini diberitakan dalam kitab Weda, yang dinamai “Shirastrana”, Orang yang mengenakan helm disebut “siprin”. Tak semua pra- jurit mengenakan shirastrana. Pra-jurit biasa hanya bertelanjang kepala, atau berambut panjang serta mengenakan tanduk binatang. Dewa Indra digam- barkan berhelm emas:
Baju zirah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kostum militer, yang dikenakan setelah disucikan dengan mantra. Kala itu nampaknya baju zirah ha- nya dikenakan oleh kaum bang-sawan. Para prajurit biasa hanya megenakan kulit rusa atau kulit badak. Hal itu tergambar di dalam kitab Atharvaveda, yang menyatakan bahwa perisai dan pakaian dari kulit rusa bisa menimbulkan kengerian diantara musuh- musuh Tuhan. Bangsawan dan prajurit elit menge- nakan mantel surat yang dinamai dengan “drapi, kavacha, atau varman” untuk menutupi dada, pung- gung, dan di bagian bawah tubuh. Ada pula sebutan “kavacha” untuk baju besi pelat yang ketat dan me- nutupi dada. Kitab Atharva Veda menggunakan kata “kavaca” untuk menyebut pelindung dada.
Pada zaman Weda sebutan ‘varman’ menunjuk ke- pada : baju besi yang dijahit atau mantel baja yang menutupi seluruh tubuh. Selain diberita-kan dalam kitab-kitab Weda, baju zirah juga dijelaskan dakam teks-teks keagamaan, termasuk juga susastra epos Itihasa, Ramayana dan Mahabharraata maupun Pu- rana. Untuk bagian muka digunakan pelindung yang menyerupai topeng logan. Berkaitan itu, Rig Veda/Mandala 6 (Nyanyian 29) menyatakan “… Jadilah Indra agung yang siap mendengarkan, Penolong tanpa bantuan, Pahlawan bertopeng emas”. Ada pu- la pelindung lengan atau tabgan yang terbuat dari kulit — yang nantinya digantikan oleh sarung tangan logam, yang ndinamai dengan “hastaghna”, untuk menghi-dari gesekan tali busur. Adapun untuk me- lindungi kaki dipakai gelang kaki dan sepatu. Para bangsawan me-ngenakanragam perhiasan, seperti gelang tangan, gelang, gesper, kalung, dan berbagai karangan bunga bukan hanya untuk berhias diri, tapi sekaligus sebagai pelindung diri.

Kitab Arthashastra karya Chanakya (320 SM) mem- bahas secara ekstensif berbagai jenis baju zirah India kuno. Ada beragam sebutan untuk baju zirah, seperti “lohajālika, paṭṭa, kavaca, dan sūtraka”.Baju zirah kohajālika.adalsh jaju zirah rantai besi atau baja, yang terkenal karena da-ya tahannya yang luar biasa terhadap serangan senjata tajam seperti pe- dang dan kapak, dab relatif ringan. Lohajālika bisa memberikan perlindungan unggul terhadap serang- an yang berups tebasan dan tusukan. Dusamping itu, baju zirah dengan desain rumit ini sering dihias dengan hiasan yang mencerminkan keahlian dan estetika budaya ketika itu, sebagai wujud keteram- pilan metalurgi tingkat lanjut yang ada dalam pera- daban India kuno .
Baju zirah patta digambarkan sebagai mantel dari besi , baja atau kulit binatang dengan ku-ku dan tan- duk ragam binatang (lumba-lumba , badak ataupun bison) tanpa penutup lengan. Adapun kavacha ada- lah baju zirah pelat penutup dada, badan, dan bagi- an tubuh lainnya. Baju zirah ini sangat pas, terbuat dari logam atau kulit. Baju zirah yang lainnya. yaitu sūtraka, terbuat dari bahan kulit atau besi, guna me- nutupi ping-gul dan pinggang. Selain itu terdapat bagian- bagiani baju zirah untuk organ.tubuh terten- tu, yang masing-masing memiliki sebutan sendiri, seperti (a) śirāstrāṇa (penutup kepala), (b) kaṇṭha- trāṇa (penutup leher), (c) kūrpāsa (penutup badan), (d).kañcuka (mantel panjang sampai lutut), (e) vāra- vāṇa (mantel panjang sampai tumit), (f) paṭṭa (man- tel tanpa disertai dengan penutup lengan), dan (g) nāgodarikā (sarung tangan). Bisa pula ditambahkan benda-benda pelengkap (upakaraṇāni) seperti : baju zirah dan perhiasan untuk gajah, kereta perang dan kuda, maupun tongkat dan kait untuk menun-tun di medan perang. Kerajaan Magadha adalah yang per- kenalkan rathamusala, yakni kereta perang berlapis baja dengan bilah yang menonjol. Ganbaran menge- nai pasukan perang Magadha yang kenakan baju besi didapati di Stupa Danchi, dan baju besi bersisik dari ku- liti didapati pada stupa Bharhut.
Gambaran mengenai baju zirah juga dijumpai pada kitab Mahabharata, berupa baju besi yang diguna- kan dalan pertempuran, antara lain ; (a) Karna Ka- vacha”, yaitu baju zirah milik Karna yang tak dapat ditembus oleh senjata surgawi: (2) Shiva-Kavacha, yait baju zirah Dewa Siwa yang membuat penggu- nanya tidak terkalahkan; (c) baju zirah bersisik dari Dewa Kumara (Kartikeya), dsb. Gambaran lainnya di- dapati pada “Siva-Dhanur-Veda”, yang memuat informasi tentang militer Kerajaan Gupta, yang me- miliki gajah-gajah perang berlapis baja, dan sebalik- nya kuda jarang digunakan. Begitu pula pengguna- an kereta perang turun drastis pada masa Gupta, karena kereta perang tak terbukti tangguh ketika melawan Yunani, Skithia, serta penjajah lainnya. Gupta memanfaatkan kava-leri berat yang menge- nakan baju zirah rantai besi dan dilengkapi dengan gada dan tombak, sebagai pasukan aksi kejut untuk mematah-kan garis pertahanan musuh.
B. Jejak Baju Zirah Pasukan Perang Nusantara Lama
Informasi tentang baju zirah Nusantara Lama dida- patkan dari sumber data prasasti, susas- tea, relief candi dan seni arca. Pada sumber data tekstual di Nusantara, yakni prasasti dan susastra, diperoleh petunjuk pemakaian sufix “varmman, varmam, var- ma, verma, atau bur- man” pada nama-nama gelar, seperti nama Mulawarman, Aswawarman, Purna- varmman, Varmmadewa, lAdityawarman, Mauliwa- rmade-wa, dsb. Yang seru0a itu kedapatan dalam prasasti di Indo-China, di Semenanjung Malaysia, India Timur-Laut (Assam), Bang-lades, India Sela- tan, India Timur (tekuk Benggala) maupun Srilangka (Chaipau, 1968) Misalnya pada kerajaan Pallawa di India Selatan terdapat raja-raja dengan nama gelar Vijayavishnugopavarman II (Vishnugopavarman II), Simhavishnu(varman), Mahendravar-man I, II dan III , Narasimhavar-man I, Paramesvaravarman I dan II, Narasim-havarman II, Dantivarman, Nandivarman I dan II, Nripatungavarman, Aparajitavarman, serta Kampavarman. Begitu pula pada kerajaan Champa di Indo-China terdapat juga raja-raja dengan nama gelar Vikrantavarman, Sri Satya-varman, Sri Indra- varman I, Sri Rudravarman, Sri Bhadravarman, Sri Hari-varmandeva, Sri Jaya Paramesvaramandeva, Indravarman II, Simhavarman, Sri Basuvishnujati- virabhadra-dvarmandeva, dan Virabhadravarman- deva,
Makna yang terkandung dalam sebutan “var-mam” adalah sikap untuk melindungi (rak-sa), dan menjadi gelaran yang melekat pada nama-nama penguasa (ksatria). Pada prasasti Yupa di kerajaan Kutai, dua diantara tiga nama raja yang disebutkan di dalamnya menggunakan unsur nama “varmman”, yaitu Mulavarmman dan Asvavarmman. Unsur na- ma “varmman” ju- ga dupakain oleh raja Taruma, yaitu Purnavar- mma . Kata “purna” berarti : sempur- na, dan ka- ta “varmman” berarti : baju zirah. Berda- sarkan nama itu, Purnavarmman digambarkan se- bagaii : memiliki baju zirah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan keterangan pada salah satu prasas- tinya, yaitu prasasti Pasir Koleangkak (Kebun Jam- bu), yang memuat kalimat “……….. yang baju zirah (varmman)-nya yang terkenal, tidak bisa ditembus senjata musuh”.
Dalam mitologi India, Dewa yang mempunyai baju zirah sempurna adalah Dewa Surya. Ada dua bang- sa di India, yaitu Saka dan Kusana, yang menjadi pemuja kuat Dewa Surya, yang oleh mereka disebut Mitra-Surya”. Oleh bang- sa Saka yang dikenal suka berperang, Surya dikonseosikan sebagai ‘Dewa Pe- rang”, sehingga mendapat gelar “Ajit” dan “Kavasa”, serta dipandang sebagai dewa pelindung (varm- man) dan dijuluki “raja dunia (jagatpati,)”. Sifat dari Mitra-Surya sebagai Dewa Perang sejalan de- ngan perangai Purnavarmman yang di dalam prasasti- prasastinya digambarkan melakukan ekspansi ke- kuasaan dari ibu kota kerajaan di sekitar daerah Bekasi ke daerah Bogor hingga Lebak. Kata “avani- payeh” yang artinya sama dengan “jagatpati (raja dunia)” dan “vikranta” yang artinya : menyerang atau gagah berani memperlihatkan keserupaan dengan tabiat Dewa Mutra-Surya sebagai Dewa Prabg. Oleh karena itu muncul dugaan Purnavarmman sebagai pemuja Mitra-Surya.
Gambaran mengenai baju zirah dijumpai pa- dan tinggalan Ikonografis (seni arca). Paling tidak ter- gambarkan pada arca Durga Mahisasuramardhini. Ganesha dan Mahakala dari era Singhasari yang digambarkan mengenakan baju zirah berhias, yang bisa jadi merupakan baju zirah lohajālika. Baju zirah ini memberi perlindungan unggul terhadap tebasan dan tusukan senjata lawan. Lohajālika didesain ru- mit ini seringkaku dihiasi dengan hiasan yang men- cermin-kan keahlian dan estetika budaya kala itu. Fapatvdifahami bila aca Dewi Durga digambarkan mengenakan baju zirah, karena arca adalah “arca tipe adegan”, yakni tengah melakukan pertempuran melawan Asura yang sakti. Begitu pula bisa dime- ngerti bila arca Dewa Ganesha juga digambarkan mengenakan baju zirah, karena Ganesha adalah Dewa Perang, yang diberikan sebutan “Ganspati”, artinya : pe- mimpin pasukan Gana.. Arca Siwa Makala pun digambarkan mengenakan baju zirah, karena Mahakala adalah dewa penjaga bangunan su- ci (baca “candi”) dari gangguan gaib. Gambar- an sebagai “prajurit” pada arca ini terlihat jelas pada senjata yang berupa gada (dandha) serta pedang (khadga,) yang dibawanya.
Meski agak samar, baju zirah nampaknya juga dike- nakan Krisna. Rukma (kakakRukmini) dan prajurit kerajaan Widarba dalam relief cerita “Kresnayana” yang dipahat pada teras II candi induk Penataran. Sebagaimana pada arca Durga dari candi Singosari, yang selain mengenakan baju zirah juga melindungi diri dengan perisai, para prajurit Widarba ini juga mengenakan baju zirah dan berperisai. Baik baju zirah maupun perisai berfungsi sebagai pelindung diri dari sejarah lawa. Oleh karena itulah kata “var- mman” dapat diartikan sebagai : baju zirah atau perisai. Gambaran mengenai baju zirah juga terda- pat dalam sejumlah susastra Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan, khusus nya yang memuat kisah ten- tang pertempuran seperti kakawin Bharatayuddha, Kresnayana, Kidung Ranggalawe, dsb. Dalam kitab Kidung Ranggalawe baju zirah diistilahi dengan “waju rante” serta “winaju gangsa ranti”, dalam.arti : baju zirah berbentuk rantai dan baju zirah berwujud lempeng-lempeng perunggu yang disatukan dengan ran-tai.
Gambaran baju zirah dari waktu yang sedikit lebih muda diperoleh pada litografi di dalam buku berju- dul “Orientalis-che Indien” tahun 1597 serta pada tulisan Johann Theodor de Bry mengenai baju zirah dari prajurit Kasultan-am Banten yang berupa pelat- pelat perunggu yang disatukan dengan rantai kecil. Bentuknya mengingatkan kita pada winanju gangsa rantu yang diberitakan dalam Kudung Ranggalawe. Agaknya yang mengrnakan baju zirah hanya pasu- kan khusus. Adapun prajurit biasa hanya bertelan- jjang dada. Baju zirah demikian juga diperoleh bukti pada benda koleksi Museum Talaga Manggung di Majalengka, yang berupa winaju gangsa ranti. Ke- depan, dengan peneli- an yang lebih seksama bukan tidak mungkin bakal ditemukan bukti-bukti lainnya mengenai baju zirah Nusantara.
C. Baju Zirah sebagai Kelengkapan Perang Lintas Masa
Perang tak hanya membutuhkan senjata untuk me- lukai ataupu. membunuh lawan. Namun diperlukan pula perangkat perang untuk lindungi diri dari senja- ta lawan, seperti perisai dan baju zirah. Pada abad IV dan V Masehi, sebagaimana tergambar dalam unsur sebutan “varmman” pada nama-nama raja di Kutai dan Tarunma, maupun pemberitaan di dalam prasasti Kebun Jambu (Pasir Koleangkak) diperoleh petunjuk bahwa baju zirah telah digunakan di me- dan laga. Amat mungkin baju zirah ini didatangkan (berasal) dari India.
Arca-aca dari Masa Singhasari juga turut menyaji- kan buktibtenteng penggunaan. Baju zirah jenis lohajālika. Demikian pula relief candi pada candi induk Penataran menambah bukti tentang penggu- nanaan baju zirah dalam arena pertempuran pada masa Majahit (abad XIV Masehi). Dalam istiah ba- hada Jawa Tengahan, susastra Kidung Ranggalawe menyebut baju zirah Majapahit dengan “waju rante” dan “winaju gangsa ranti”. Baju zirah winaju gangsa ranti juga dikenakan oleh prajurit Kasultanan Baten (akhir abad XVI Masehi(, dan tentu hingga ke masa masa sesudahnya. Bahkan. prajurit dari etnik bersa- haja sekalipun, misal prajurit Papua, memiliki baju zirah yang dibuat dari simpul-simpul halus serat kulit kayu.
Perang adalah aktitas yang beresiko tinggi. Oleh ka- rena itu melindungi diri dari senjata lawan adalah ikhtiar yang terus-menerus diu- payakan dari waktu krwaktu. Baju pelindung duri, baik berupa baju zirah (harnas) dari masa lalu ataupun baju anti peluru za- man moderen se- bagi piranti “safety” yang penting. Sebenarnya, piranti “safety” tidak hanya diperlukan dalam pe- perangan, pada aktifitas-aktifitas lainnya yang berisiko juga dibutuhkan. Marilah kita senanti- asa berikhtiar untuk melindungi diri dengan perang- kat pelindung yabg tepat guna.
Pewarta : Virly

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal