
RI News Portal. Pontianak, 20 Agustus 2025 – Ribuan warga tumpah ruah di Jalan Tanjung Harapan, Kelurahan Banjar Serasan, Kecamatan Pontianak Timur, untuk mengikuti perayaan Robo-robo. Tradisi tahunan yang selalu digelar pada Rabu terakhir bulan Safar ini kembali memperlihatkan daya tariknya sebagai praktik kebudayaan yang menyatukan dimensi religius, sosial, dan kultural masyarakat Melayu Pontianak.
Sejak pagi, sekitar 5.000 orang hadir membawa aneka makanan, mulai dari kue tradisional hingga ketupat colet, makanan khas yang selalu menjadi simbol dalam acara tersebut. Panitia menyediakan hamparan sepanjang 1,3 kilometer sebagai ruang bersama untuk doa dan makan saprahan, sebuah cara makan berjamaah yang menegaskan egalitarianisme budaya lokal.
Ketua Panitia, Hazmi Abdul Razaq, menekankan bahwa Robo-robo tidak hanya sekadar pesta rakyat, tetapi memiliki tiga konsep utama: berbagi, silaturahmi, dan munajat.
- Berbagi, diwujudkan melalui makanan yang dibawa sebagai bentuk sedekah jariyah.
- Silaturahmi, dihadirkan melalui perjumpaan warga lintas generasi dan latar belakang.
- Munajat, melalui doa tolak bala yang mencerminkan kepasrahan manusia terhadap kehendak Tuhan.

“Tradisi ini sudah diwariskan sejak leluhur kami. Meski zaman berubah, nilai kebersamaan, doa, dan kepedulian sosial tetap menjadi inti Robo-robo,” ujarnya.
Dalam tradisi masyarakat Melayu Kalimantan Barat, bulan Safar diyakini sebagai bulan turunnya bala. Karena itu, Robo-robo muncul sebagai respon religius-kultural, yakni doa bersama dan sedekah sebagai ikhtiar tolak bala. Perspektif antropologi melihat praktik ini sebagai ritual transformatif, yang mempertemukan mitos, kepercayaan, dan solidaritas sosial.
Di sisi lain, bagi generasi muda, Robo-robo merupakan ruang edukasi kebudayaan. Tradisi ini menjadi wahana untuk memahami identitas kolektif Melayu Pontianak, di tengah arus modernisasi yang kerap mengikis memori budaya lokal.
Baca juga : Pramuka sebagai Pilar Kedaulatan: Dari Kemandirian Pangan hingga Ketahanan Bangsa
Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menyebut Robo-robo bukan hanya tradisi leluhur, tetapi juga aset budaya kota. Menurutnya, kegiatan ini memuat tiga dimensi: spiritual, ritual, dan hiburan.
“Tradisi ini adalah ungkapan syukur, sekaligus doa bersama agar masyarakat Pontianak terhindar dari bencana. Nilai spiritualnya kuat, tetapi di sisi lain juga memperkuat kohesi sosial dan menarik minat wisatawan,” ucapnya.
Pemerintah Kota Pontianak mendorong agar Robo-robo tidak hanya dipertahankan, tetapi juga dipromosikan sebagai bagian dari kalender wisata budaya Kalimantan Barat.
Selain doa bersama, acara ini juga menampilkan lomba membuat ketupat colet dan festival kuliner khas. Dari perspektif ekonomi budaya, kegiatan tersebut menciptakan ruang partisipasi masyarakat dalam menghidupkan kembali kuliner tradisional sekaligus memberi dampak ekonomi mikro bagi pedagang lokal.
Akademisi melihat Robo-robo sebagai ritual integratif yang memperkuat modal sosial. Tradisi ini tidak hanya melestarikan identitas kultural masyarakat Pontianak, tetapi juga membuka peluang ekonomi kreatif berbasis budaya.
Robo-robo di Pontianak Timur memperlihatkan bagaimana sebuah tradisi lokal tidak sekadar bertahan, tetapi juga berkembang dalam bingkai modernitas. Nilai religius, kultural, dan sosial yang melekat di dalamnya menjadikan Robo-robo bukan hanya ritual tahunan, melainkan cermin ketahanan budaya masyarakat Pontianak.
Jika dikelola dengan baik, Robo-robo berpotensi menjadi model pelestarian budaya yang tidak hanya meneguhkan identitas Melayu, tetapi juga memperkuat harmoni sosial di tengah masyarakat multikultural Kalimantan Barat.
Pewarta : Eka Yuda
