
RI News Portal. Padang, 21 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk agenda politik daerah yang semakin matang menjelang siklus pemilu mendatang, sebuah lembaga kebudayaan publik non-pemerintah, Leon Agusta Indonesia (LAI), melangkah tegas untuk merevolusi budaya politik Indonesia. Didirikan pada 2014 sebagai wadah independen dan nirlaba yang terinspirasi dari semangat perubahan berbasis budaya, LAI kini menjadi garda terdepan dalam mendorong partai politik memenuhi mandat konstitusionalnya: pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas. Agenda ini sejalan dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yang mengamanatkan partai sebagai pilar demokrasi harus aktif membangun kesadaran politik rakyat.
Hari ini, LAI berhadapan langsung dengan delapan partai politik tingkat Kota Padang dalam sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Sumatera Barat. Gugatan ini mencakup Partai Demokrat, PDI Perjuangan, PPP, PAN, PKS, NasDem, Golkar, dan Gerindra. Pemicunya sederhana namun mendasar: permohonan informasi publik terkait penggunaan dana bantuan partai yang diajukan LAI sejak Juni 2025, beserta surat keberatan, tak kunjung mendapat respons hingga melewati batas waktu yang diatur undang-undang. Regulasi Permendagri Nomor 78 Tahun 2020—perubahan atas Permendagri Nomor 36 Tahun 2018—jelas memprioritaskan dana tersebut untuk pendidikan politik, bukan sekadar operasional rutin.
“Ini bukan sekadar soal selembar surat yang diabaikan,” tegas Julia F. Agusta, Ketua Umum LAI, dalam pernyataan resminya pasca-sidang. “Ini tentang tanggung jawab moral dan konstitusional partai politik kepada rakyat. Jika partai mengklaim diri sebagai pilar demokrasi, keterbukaan informasi harus menjadi nafas utamanya. Tanpa itu, demokrasi hanya jadi slogan kosong.”

Sidang pemeriksaan awal ini berlangsung tegang di ruang sidang Komisi Informasi. Mewakili LAI sebagai pemohon, tim hukum Edo Mandela SH, Arfitriati, dan Febriyandi Putra hadir lengkap dengan surat kuasa. Sementara itu, dari pihak termohon—delapan partai tersebut—beberapa perwakilan muncul, tapi tanpa dokumen kuasa resmi. Akibatnya, kehadiran mereka dinyatakan belum sah secara formil, sesuai ketentuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Sidang pun ditunda, dengan agenda lanjutan dijadwalkan segera untuk memungkinkan pihak termohon melengkapi persyaratan.
Edo Mandela, salah satu kuasa hukum LAI, berbagi pandangannya di luar ruang sidang. “Partai politik harus konsisten menjaga napas demokrasi di segala aspek, termasuk keterbukaan informasi. Proses ini bukan akhir, melainkan titik awal yang menentukan arah budaya politik masa depan, khususnya di Kota Padang. Jika partai gagal memenuhi mandat pendidikan politik, siapa lagi yang akan mendidik rakyat tentang hak-haknya?”
Baca juga : Pelanggaran K3 di Proyek Konstruksi: Tragedi di RSUD Sambas
Bagi LAI, sengketa ini lebih dari sekadar ranah hukum. Ia bagian dari maraton panjang revolusi kebudayaan sosial-politik yang digagas lembaga ini. Sejak berdiri, LAI telah menyelenggarakan berbagai inisiatif seperti forum diskusi, pelatihan jurnalistik, dan akademi seni tradisional Minangkabau, semuanya untuk membangun kesadaran publik. Kini, dengan mendorong partai mematuhi keterbukaan dana bantuan, LAI ingin memastikan bahwa alokasi negara—yang mestinya 60 persen untuk pendidikan politik—benar-benar mencapai akar rumput, bukan hilang dalam kabut administrasi.
Apapun hasil akhir sidang ini, langkah LAI telah meninggalkan jejak mendalam: demokrasi bukanlah baliho kampanye atau orasi retoris, melainkan keberanian untuk membuka diri dan mempertanggungjawabkan amanat rakyat. Komisi Informasi Sumbar, sebagai penjaga gerbang, akan menjawab pertanyaan krusial melalui putusannya nanti—apakah demokrasi sosial-politik di tingkat daerah ini masih bernyawa, atau sekadar bayang-bayang formalitas? Proses sidang hingga akhir akan menjadi cermin bagi kita semua, menguji apakah partai politik siap menjadi pendidik sejati atau tetap terjebak dalam ruang tertutup.
Pewarta : Sami S
