RI News Portal. Washington, 17 Desember 2025 – Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif pada 15 Desember lalu yang secara resmi mengklasifikasikan fentanil ilegal beserta bahan kimia prekursor utamanya sebagai “senjata pemusnah massal” (weapons of mass destruction/WMD). Langkah ini menandai pendekatan baru dalam penanganan krisis opioid yang telah merenggut ratusan ribu nyawa warga Amerika, dengan menekankan dimensi keamanan nasional daripada sekadar isu kesehatan masyarakat atau penegakan hukum narkotika biasa.
Dalam dokumen perintah eksekutif tersebut, fentanil ilegal digambarkan “lebih mirip senjata kimia daripada narkotika konvensional”. Disebutkan bahwa dosis mematikan dapat tercapai hanya dengan dua miligram zat tersebut—jumlah yang hampir tak terdeteksi secara visual dan setara dengan 10 hingga 15 butir garam meja. Perintah ini juga menyoroti dampak epidemiologisnya, di mana ratusan ribu warga Amerika telah meninggal akibat overdosis fentanil dalam beberapa tahun terakhir, menjadikannya penyebab utama kematian di kalangan usia produktif.
Sebagai tindak lanjut langsung, Departemen Kehakiman AS diperintahkan untuk mempercepat investigasi dan penuntutan terhadap jaringan perdagangan fentanil. Selain itu, Departemen Pertahanan dan Kehakiman diminta untuk mengevaluasi kemungkinan pengerahan sumber daya militer guna mendukung operasi penegakan hukum, terutama dalam situasi darurat yang melibatkan ancaman WMD. Langkah ini mencerminkan eskalasi dari pendekatan hukum pidana tradisional menuju kerangka keamanan nasional, yang memungkinkan penggunaan aset intelijen dan kontraproliferasi untuk memetakan jaringan penyelundupan.

Analisis akademis terhadap kebijakan ini menunjukkan adanya konteks geopolitik yang lebih luas. Klasifikasi sebagai WMD memberikan landasan hukum tambahan bagi pemerintah AS untuk menerapkan sanksi finansial terhadap entitas asing yang terlibat dalam produksi atau distribusi, serta potensi intervensi militer di wilayah sumber ancaman. Beberapa pengamat kebijakan luar negeri mencatat bahwa timing pengumuman ini bertepatan dengan peningkatan aktivitas militer AS di kawasan Karibia dan Pasifik Timur, di mana operasi telah menargetkan kapal-kapal yang diduga terkait perdagangan narkoba. Meskipun mayoritas fentanil yang masuk ke AS diproduksi di Meksiko menggunakan prekursor dari Asia, fokus pada rute maritim di Amerika Latin menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas strategis, termasuk tekanan terhadap pemerintahan negara-negara transit yang dianggap tidak kooperatif.
Para ahli kesehatan publik dan kebijakan narkotika menyambut langkah ini sebagai pengakuan atas tingkat keparahan krisis opioid, tetapi juga menyuarakan skeptisisme mengenai efektivitasnya dalam mengurangi pasokan di jalanan. Data resmi menunjukkan penurunan angka kematian overdosis sintetis opioid dalam periode terakhir, meski tetap pada level epidemi tinggi. Kritikus berargumen bahwa pendekatan militerisasi mungkin tidak secara langsung menangani akar masalah, seperti permintaan domestik dan jalur masuk melalui pelabuhan darat resmi.
Baca juga: Tradisi Peleton Beranting: Napak Tilas Perjuangan Korps Infanteri dalam Peringatan Hari Juang ke-77
Di sisi lain, pada hari yang sama, Presiden Trump menyatakan bahwa pemerintahannya sedang “sangat serius” mempertimbangkan perintah eksekutif untuk mereklasifikasi ganja dari jadwal narkotika tertinggi (Schedule I) ke tingkat lebih rendah (kemungkinan Schedule III). Perubahan ini akan menjadi pengakuan resmi pertama di tingkat federal bahwa ganja memiliki potensi penggunaan medis yang sah, sehingga membuka pintu bagi penelitian lebih luas dan pengurangan pembatasan. Langkah tersebut mencerminkan kontras tajam dalam kebijakan narkotika: eskalasi keras terhadap opioid sintetis di satu sisi, dan relaksasi potensial terhadap kanabis di sisi lain.
Kedua kebijakan ini menggambarkan evolusi pendekatan administrasi Trump terhadap isu narkotika, yang menggabungkan elemen keamanan nasional, kesehatan masyarakat, dan reformasi regulasi. Dampak jangka panjangnya akan bergantung pada implementasi agensi terkait serta respons dari kongres dan mitra internasional, di tengah debat berkelanjutan mengenai keseimbangan antara penegakan hukum dan pendekatan berbasis bukti ilmiah.
Pewarta : Setiawan Wibisono

