RI News Portal. Jakarta, 13 November 2025 – Di tengah hiruk-pikuk agenda kenegaraan pasca-kunjungan ke Australia, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya terhadap keadilan sosial dengan menandatangani surat rehabilitasi bagi dua guru Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Keputusan ini, yang diumumkan secara resmi pada dini hari Kamis ini di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bukan hanya memulihkan status profesional Abdul Muis dan Rasnal, tetapi juga menjadi simbol penghargaan negara terhadap dedikasi para pendidik yang sering kali terjebak dalam jerat birokrasi yang kaku.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, yang turut menyaksikan proses penandatanganan, menyampaikan bahwa langkah ini lahir dari aspirasi rakyat yang mengalir deras melalui berbagai saluran komunikasi publik. “Aspirasi ini mencapai kami melalui diskusi intensif dengan perwakilan masyarakat dan lembaga legislatif daerah. Kami koordinasikan dengan tim presiden selama seminggu terakhir, dan beliau memutuskan untuk menggunakan wewenang konstitusionalnya guna mengembalikan hak-hak mereka,” ujar Dasco di hadapan para awak media. Ia menambahkan bahwa kedua guru tersebut bahkan didampingi langsung oleh anggota DPRD Sulawesi Selatan untuk memastikan proses berjalan lancar, menunjukkan sinergi antar-tingkat pemerintahan dalam menangani isu kemanusiaan.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, yang mendampingi Presiden saat penandatanganan, menekankan dimensi emosional dari keputusan ini. “Rehabilitasi ini diharapkan bukan sekadar dokumen administratif, melainkan jembatan menuju pemulihan holistik. Kami ingin melihat nama baik, martabat, dan hak ekonomi mereka pulih sepenuhnya, sehingga mereka bisa kembali berkontribusi bagi generasi muda,” katanya. Prasetyo juga berpesan agar kasus serupa menjadi pelajaran bagi sistem pendidikan nasional, di mana niat baik tidak lagi dihukum dengan sanksi yang tidak proporsional. “Ini adalah pesan bagi seluruh Indonesia: guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan negara wajib melindungi mereka dari ketidakadilan yang lahir dari interpretasi aturan yang terlalu sempit.”

Latar belakang kasus Abdul Muis dan Rasnal mencerminkan ironisnya sistem birokrasi pendidikan di daerah terpencil. Pada 2018, keduanya—yang saat itu menjabat sebagai guru senior di SMAN 1 Masamba—memimpin pengumpulan iuran sukarela sebesar Rp20.000 per orang tua siswa. Dana tersebut digunakan untuk menutupi gaji telat hingga 10 bulan bagi 10 guru honorer di sekolah yang sama, sebuah inisiatif yang disetujui oleh komite sekolah dan bertujuan menjaga kelangsungan proses belajar mengajar di tengah keterbatasan anggaran daerah. Namun, tindakan altruistik ini justru berujung pada laporan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat ke aparat penegak hukum, yang menduga adanya unsur pidana korupsi.
Proses hukum pun bergulir cepat: pemecatan sebagai ASN dikeluarkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan pada 21 Agustus dan 4 Oktober 2025, diikuti vonis penjara satu tahun oleh Mahkamah Agung setelah tingkat kasasi. Selama lima tahun, keduanya menjalani perjuangan panjang, dari pengaduan ke tingkat lokal hingga provinsi, yang sering kali terhambat oleh dinding birokrasi. Abdul Muis, guru sosiologi yang kini berusia 58 tahun, mengungkapkan rasa frustrasinya dalam pernyataan singkat pasca-bertemu Presiden. “Kami merasa diperlakukan seperti pelaku kejahatan besar, padahal niat kami hanya untuk menyelamatkan rekan-rekan honorer yang kelaparan. Hari ini, kami akhirnya merasakan keadilan yang selama ini kami perjuangkan,” katanya dengan suara bergetar, mata berkaca-kaca.
Rasnal, mantan kepala sekolah yang kini mengajar bahasa Inggris di SMAN 3 Luwu Utara, menambahkan nuansa haru dalam kisahnya. “Perjalanan ini melelahkan, dari pintu ke pintu, tapi kini semuanya terbayar. Terima kasih kepada Presiden yang telah mendengar suara kami. Semoga ini menjadi preseden agar guru-guru lain tidak lagi takut berinisiatif untuk kesejahteraan anak didik.” Respons emosional mereka—termasuk sujud syukur di lokasi—menjadi momen yang menyentuh, menggambarkan beban psikologis yang selama ini mereka pikul sendirian.
Baca juga : Gedung Putih Tegaskan Tidak Ada Rencana Pangkalan Militer AS di Perbatasan Gaza
Keputusan Presiden Prabowo ini tidak hanya menutup babak tragis bagi dua individu, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang reformasi kebijakan pendidikan di Indonesia. Para pengamat hukum dan pendidikan menilai bahwa kasus ini menyoroti celah dalam Undang-Undang ASN dan regulasi pengelolaan dana sekolah, di mana inisiatif lokal sering kali benturan dengan aturan pusat yang kurang fleksibel. “Ini adalah ujian bagi pemerintahan baru untuk menyeimbangkan kepatuhan administratif dengan nilai kemanusiaan. Rehabilitasi seperti ini bisa menjadi katalisator bagi revisi aturan yang lebih inklusif,” komentar seorang pakar tata negara dari sebuah universitas negeri di Jakarta, yang meminta namanya dirahasiakan.
Lebih jauh, langkah ini selaras dengan visi Prabowo untuk membangun “Indonesia Emas 2045”, di mana sektor pendidikan menjadi prioritas utama. Dengan merehabilitasi Abdul Muis dan Rasnal, pemerintah mengirim sinyal kuat bahwa dedikasi guru—terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) seperti Luwu Utara—tidak boleh sia-sia. Kini, keduanya berharap bisa kembali mengajar dengan penuh semangat, sambil menjadi inspirasi bagi rekan seprofesi. Di tengah tantangan pendidikan nasional yang masih berat, kisah ini menjadi pengingat bahwa keadilan sering kali lahir dari empati, bukan semata prosedur.
Pewarta : Yudha Purnama

