RI News Portal. Pesisir Selatan, 23 November 2025 – Maraknya praktik penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, kembali mencuat ke permukaan. Salah satu titik rawan yang kini menjadi sorotan adalah SPBU 14.256.105 yang berlokasi di Pasar Bukit Air Haji, Kecamatan Linggo Sari Baganti. Pengguna jalan dan pelaku usaha setempat mengeluhkan adanya prioritas pengisian bagi puluhan armada truk tangki modifikasi (langsir) yang diduga kuat menjadi alat penimbunan BBM bersubsidi jenis solar dan pertalite.
Pantauan di lapangan selama beberapa pekan terakhir menunjukkan pola yang berulang: antrean kendaraan masyarakat umum kerap “dilewati” demi melayani armada langsir yang datang silih berganti. Akibatnya, banyak pengendara roda empat maupun truk pengangkut hasil bumi terpaksa membeli BBM di kios-kios pinggir jalan dengan harga jauh lebih tinggi, atau bahkan meninggalkan SPBU dengan tangki kosong.
Seorang sopir truk pengangkut yang enggan disebutkan identitas lengkapnya mengaku harus merogoh kocek tambahan hingga per hari hanya untuk membeli solar eceran. “Di SPBU masih ada stoknya, terlihat jelas tangki-tangki besar armada langsir yang diisi penuh berulang-ulang. Tapi kami yang antre tidak kebagian. Akhirnya beli di pinggir jalan supaya bisa jalan, kalau nunggu bisa seharian,” ujarnya kepada wartawan di lokasi, Rabu (20/11/2025).

Praktik serupa bukanlah hal baru di Pesisir Selatan, namun intensitasnya meningkat sejak awal November 2025. Para pelaku usaha perkebunan, nelayan, dan angkutan barang mengaku biaya operasional melonjak 25–40 persen akibat tergantung pada BBM nonsubsidi atau eceran yang harganya bisa mencapai Rp12.000–Rp15.000 per liter untuk solar.
Fenomena ini tidak sekadar masalah distribusi, melainkan bentuk oligopoli informal yang menguasai rantai pasok BBM bersubsidi di tingkat kabupaten. “Ketika alokasi subsidi yang seharusnya dinikmati masyarakat produktif justru dialihkan secara sistematis ke segelintir pelaku yang memiliki akses istimewa, maka terjadi distorsi harga riil di lapangan. Dampaknya langsung terasa pada inflasi transportasi lokal dan menurunnya daya saing komoditas perkebunan Pesisir Selatan di pasar regional.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak pengelola SPBU 14.256.105 maupun Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut. Beberapa sumber internal yang enggan disebut namanya menyatakan bahwa pengisian armada langsir dilakukan karena “surat rekomendasi” dari pihak tertentu, meskipun mekanisme tersebut tidak diatur dalam Peraturan BPH Migas maupun Perpres No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Baca juga : Pembalakan Liar di Hutan Lindung Wonogiri: Ancaman Nyata bagi Ekosistem dan Ketahanan Hukum Lingkungan
Masyarakat Pesisir Selatan melalui berbagai paguyuban sopir dan kelompok tani mendesak aparat penegak hukum—baik kepolisian maupun kejaksaan—untuk segera melakukan penyelidikan mendalam. Mereka juga meminta pemerintah daerah membentuk satuan tugas pengawasan BBM bersubsidi yang melibatkan unsur independent dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil.
Kalau praktik ini dibiarkan, roda ekonomi kami akan terus tersendat. Subsidi yang digelontorkan negara malah dinikmati segelintir orang, sementara kami yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru menanggung beban paling berat.
Kasus di SPBU Pasar Bukit Air Haji ini menambah daftar panjang dugaan penyimpangan distribusi BBM bersubsidi di Sumatera Barat yang dalam tiga tahun terakhir telah menyeret sejumlah oknum pengusaha dan aparat ke jalur hukum. Publik kini menunggu keseriusan penegak hukum untuk memutus rantai mafia BBM yang terus berevolusi dan merugikan hajat hidup orang banyak.
Pewarta : Sami S

