RI News Portal. Semarang, 2 Desember 2025 – Menjelang penutupan tahun anggaran 2025, Pemerintah Kota Semarang kembali menjadi pusat sorotan publik atas dugaan alokasi dana APBD yang kontroversial. Lebih dari Rp3 miliar dialirkan untuk program wisata religi yang melibatkan ratusan peserta dari kalangan organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, memicu tuduhan mark-up, kurangnya transparansi, hingga potensi konflik kepentingan politik.
Program yang dikelola Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemerintah Kota Semarang ini mengirimkan 105 orang peserta ke destinasi wisata religi dengan kisaran biaya Rp30–35 juta per orang. Angka tersebut jauh melampaui harga pasar paket serupa yang biasanya berada di bawah Rp20 juta per pax untuk perjalanan selama 9–12 hari, termasuk tiket pesawat kelas ekonomi, akomodasi bintang tiga hingga empat, dan konsumsi standar.
“Biaya Rp35 juta per orang untuk wisata religi jelas tidak wajar. Paket umrah plus atau wisata halal ke Turki, Mesir, hingga Palestina yang ditawarkan biro-biro kredibel saat ini rata-rata Rp23–28 juta. Selisihnya terlalu mencolok,” kata sumber aktivis antikorupsi yang enggan disebut namanya, Senin (1/12).
Baca juga : Korban Mafia Tanah Laporkan Dugaan Diskriminasi Penanganan Perkara ke Komisi Reformasi Polri
Kecurigaan mark-up semakin kuat karena biro perjalanan yang dipilih diduga berkantor di Ruko Pandanaran Hills, Jalan Kompol R. Soekanto No. 33 Blok AA, Mangunharjo, Tembalang – alamat yang tidak terdaftar sebagai penyedia jasa perjalanan wisata religi ternama di Semarang. Hingga kini belum ada penjelasan resmi apakah pemilihan penyedia dilakukan melalui tender terbuka, e-catalogue, atau penunjukan langsung yang memungkinkan ruang pengkondisian.
Pengamatan para pegiat transparansi anggaran di Semarang menyorot tiga kejanggalan utama:
- Selisih harga yang tidak masuk akal dibandingkan standar industri pariwisata religi.
- Tertutupnya informasi kontrak, rincian harga satuan, dan dokumen pertanggungjawaban pengadaan.
- Komposisi peserta yang didominasi pengurus dan anggota jejaring organisasi masyarakat serta LSM yang aktif memobilisasi massa pada Pilkada Semarang 2024 lalu.
Beberapa nama peserta yang beredar di kalangan aktivis bahkan diketahui berasal dari organisasi yang belum terdaftar resmi di Kesbangpol Kota Semarang atau memiliki legalitas yang dipertanyakan. “Ada pola yang sama dengan kasus-kasus sebelumnya di daerah lain: program berlabel pemberdayaan masyarakat akhirnya menjadi ‘reward’ politik berbayar APBD,” ujar seorang peneliti tata kelola pemerintahan di Universitas Diponegoro yang ikut memantau isu ini.
Baca juga : Korban Mafia Tanah Laporkan Dugaan Diskriminasi Penanganan Perkara ke Komisi Reformasi Polri
Sejumlah organisasi advokasi dan pemerhati kebijakan publik mendesak Inspektorat Kota Semarang, APIP, hingga BPK RI Perwakilan Jawa Tengah segera melakukan audit investigatif. Mereka meminta dibukanya seluruh dokumen mulai dari proposal, daftar nama peserta beserta afiliasi organisasi, kontrak kerja sama, hingga bukti transfer pembayaran.
Upaya konfirmasi yang dilakukan pada Jumat (28/11) melalui pesan tertulis kepada Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, terkait besaran anggaran, mekanisme pengadaan, dan alasan pemilihan biro perjalanan, tidak memperoleh respons hingga berita ini diturunkan. Ketidakhadiran tanggapan tersebut dinilai melanggar semangat UU Keterbukaan Informasi Publik.
Gelombang kritik di media sosial lokal semakin menguat dalam 48 jam terakhir. Beberapa akun masyarakat mempertanyakan prioritas anggaran di saat banyak infrastruktur dasar dan layanan publik di Semarang masih memerlukan perhatian serius.

“Kami sedang mengumpulkan data primer, termasuk mendatangi kantor biro perjalanan yang bersangkutan dan meminta salinan dokumen melalui permohonan informasi publik. Jika terbukti ada penyimpangan, kami akan dorong laporan ke KPK,” tegas salah seorang koordinator jaringan LSM antikorupsi Semarang.
Kasus ini diprediksi masih akan berlangsung panjang, terutama karena menyangkut penggunaan anggaran di ujung tahun yang kerap menjadi periode rawan “serap anggaran”. Publik menanti apakah Pemerintah Kota Semarang akan segera membuka data secara proaktif atau menunggu tekanan lebih besar dari masyarakat sipil dan aparat pengawas.
Pewarta : Miftahkul Ma’na

