
RI News Portal. Jakarta, 21 Oktober 2025 – Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda implementasi pungutan pajak bagi pedagang yang berpartisipasi dalam ekosistem perdagangan elektronik (e-commerce). Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen sebagai prasyarat pemberlakuan kebijakan tersebut. Langkah ini mencerminkan pendekatan hati-hati pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan pendapatan negara dengan stabilitas ekosistem usaha, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kebijakan penundaan ini didasarkan pada arahan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan bahwa pemberlakuan pajak e-commerce hanya akan dilakukan ketika ekonomi nasional mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih optimistis. “Kami ingin memastikan bahwa kebijakan ini tidak membebani pelaku usaha, terutama di tengah upaya pemulihan ekonomi,” ujar Purbaya dalam pernyataan resminya.
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa penundaan ini secara khusus menyasar skema di mana platform e-commerce ditunjuk sebagai pemungut pajak. Meski demikian, prinsip perpajakan berbasis self-assessment tetap diberlakukan. Artinya, pelaku usaha, termasuk UMKM dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun, wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) atas aktivitas ekonomi mereka yang dikenakan pajak. “Prinsip self-assessment ini adalah pondasi perpajakan kita. Pelaku usaha harus proaktif dalam melaporkan kewajiban pajaknya,” tegas Bimo dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Langkah ini diharapkan memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan diri dengan kewajiban perpajakan tanpa tekanan tambahan dari skema pemungutan pajak oleh platform. Namun, Bimo juga menekankan pentingnya kepatuhan pajak sebagai bagian dari kontribusi terhadap pembangunan nasional.
Selain penundaan kebijakan pajak e-commerce, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah fokus pada optimalisasi target pelaporan SPT di tahun mendatang seiring dengan implementasi sistem Coretax. Sistem ini dirancang untuk memodernisasi administrasi perpajakan, meningkatkan efisiensi, dan mempermudah pelaporan pajak. Namun, keberhasilan sistem ini bergantung pada aktivasi akun wajib pajak oleh pelaku usaha.
Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, baru sekitar 2 juta wajib pajak (WP) yang telah mengaktifkan akun mereka, atau sekitar 15 persen dari total target. “Tanpa aktivasi akun, wajib pajak tidak akan bisa mengakses sistem Coretax untuk melaporkan SPT. Ini adalah langkah krusial,” ujar Rosmauli. Ia juga menambahkan bahwa DJP terus melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak akan pentingnya aktivasi akun.
Baca juga : Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin Resmi Jadi Gerbang Internasional
Sementara itu, wajib pajak badan masih menjadi tantangan tersendiri. Dari target yang ditetapkan, baru sekitar 500 ribu WP badan yang telah mengaktifkan akun mereka. DJP berupaya mempercepat proses ini melalui penyuluhan dan kemudahan akses, termasuk panduan daring untuk mempermudah aktivasi.
Penundaan kebijakan pajak e-commerce ini diharapkan dapat memberikan nafas baru bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, yang masih berjuang menghadapi tantangan ekonomi pasca-pandemi. Namun, para pelaku usaha tetap diimbau untuk mempersiapkan diri menghadapi kewajiban perpajakan, baik melalui pemahaman terhadap prinsip self-assessment maupun aktivasi akun wajib pajak untuk mendukung pelaporan melalui sistem Coretax.
Keputusan pemerintah ini juga mencerminkan upaya untuk menjaga daya saing sektor e-commerce, yang telah menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Dengan menunda pungutan pajak hingga ekonomi mencapai pertumbuhan 6 persen, pemerintah berharap dapat menciptakan ekosistem yang kondusif bagi inovasi dan pertumbuhan usaha, sambil tetap memastikan kepatuhan pajak di masa depan.
Pewarta : Albertus Parikesit
