
RI News Portal. Jakarta — Sekitar 10 prajurit TNI bersenjata laras panjang terlihat berjaga di sekitar kediaman Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, di kawasan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (1/8). Penjagaan militer ini menandai babak baru dalam relasi antara institusi penegak hukum sipil dan militer di tengah derasnya arus penegakan hukum kasus korupsi kelas kakap.
Penempatan pasukan bersenjata di rumah pribadi pejabat sipil tinggi, dalam hal ini Jampidsus, menimbulkan pertanyaan di ruang publik dan politik. Kejaksaan Agung menegaskan tidak ada penambahan khusus terkait penjagaan ini. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, merujuk pada nota kesepahaman (MoU) antara Kejagung dan TNI yang telah lama berlaku. MoU tersebut, menurut Anang, mengatur soal bantuan pengamanan terhadap aset dan personel kejaksaan, tanpa mengkhususkan pada kasus atau tokoh tertentu.
Namun, faktanya, pengawalan terhadap Febrie diperkuat pascakejadian 19 Mei 2024, saat dua anggota Densus 88 tertangkap tengah membuntuti Febrie di sebuah restoran di Cipete. Mereka diamankan oleh pengawal Febrie dari unsur Polisi Militer TNI. Meski tak diproses hukum, peristiwa ini memicu ketegangan antara Kejaksaan Agung dan Polri, serta membuka ruang spekulasi akan dinamika internal antarlembaga penegak hukum.

Penebalan pengamanan terhadap Febrie tidak dapat dilepaskan dari kasus-kasus besar yang tengah ditanganinya. Di antaranya adalah:
- Korupsi Tata Niaga Timah: Melibatkan 22 tersangka, termasuk pejabat tinggi Kementerian ESDM dan pengusaha tambang. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 300 triliun. Hukuman berat telah dijatuhkan kepada para pelaku utama, dengan denda dan uang pengganti mencapai triliunan rupiah.
- Kasus Minyak PT Pertamina Patra Niaga: Merugikan negara hingga Rp 193 triliun. Salah satu tersangka utama, pengusaha M Riza Chalid, belum memenuhi panggilan hukum dan diduga berada di Malaysia.
- Pengadaan Chromebook Kemendikbudristek: Menyasar empat tersangka, termasuk dua eks pejabat tinggi kementerian. Isu konflik kepentingan menguat seiring relasi korporat antara Google (pemilik sistem operasi Chromebook) dan Gojek (perusahaan yang didirikan eks Mendikbud Nadiem Makarim).
Langkah pengamanan oleh TNI terhadap aparat penegak hukum sipil menjadi sorotan di DPR. Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, mempertanyakan urgensi pengerahan pasukan bersenjata, mengingat dampaknya terhadap persepsi publik. Ia mengingatkan, kehadiran militer di lingkungan kejaksaan dapat menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, yang justru berpotensi meredam partisipasi publik dalam pengungkapan kasus korupsi.
Baca juga : Panglima TNI Mutasi 42 Perwira Tinggi, Wujud Dinamika Pembinaan dan Regenerasi Kepemimpinan di Tubuh TNI
Febrie sendiri mengakui adanya bentuk perlawanan dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh proses penegakan hukum, meskipun ia menyebut belum ada ancaman nyata terhadap dirinya. Ia juga menegaskan bahwa hubungan antara Kejaksaan Agung dan Polri berjalan normal, terutama dalam konteks Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan penyidikan pidana khusus lainnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum sebelumnya, Harli Siregar, pernah menyebutkan bahwa pengamanan oleh TNI dimaksudkan untuk menjaga objek vital kejaksaan. Namun, dengan ekspansi pengamanan ke rumah pribadi Jampidsus, terjadi pergeseran praktik yang mengundang tafsir lebih luas: apakah pengamanan ini merupakan langkah preventif yang proporsional atau simbol meningkatnya tensi dan eskalasi politik hukum?
Di sisi lain, Febrie menyatakan bahwa pengamanan dari TNI juga bagian dari koordinasi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), yang membawahi penanganan perkara hukum anggota TNI.
Penempatan TNI di garis depan pengamanan terhadap pejabat penegak hukum sipil mengangkat dua isu krusial:
- Norma Tata Kelola Demokratis: Dalam sistem demokrasi, supremasi sipil atas militer adalah prinsip dasar. Pengerahan militer di ruang sipil, bahkan dalam kerangka MoU, memerlukan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan publik.
- Kedaulatan Institusi Penegak Hukum: Keberanian Kejagung, khususnya Jampidsus, dalam mengungkap kasus besar mesti didukung. Namun, strategi pengamanan tidak boleh mengaburkan batas institusional, apalagi bila mengarah pada pemolisian atau militerisasi wilayah sipil.
Penjagaan ketat oleh TNI terhadap rumah Jampidsus Febrie Adriansyah menandai persimpangan antara urgensi keamanan dan etika demokrasi. Sementara pengamanan diperlukan dalam konteks penanganan korupsi berskala besar, pendekatan yang melibatkan kekuatan bersenjata harus dievaluasi secara periodik oleh lembaga pengawas dan parlemen. Apalagi ketika publik sedang berharap pada keberanian penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan, bukan pada intimidasi simbolik.
Pewarta : Yudha Purnama
