
RI News Portal. Kabupaten Semarang, 19 Mei 2025 – Insiden pengeroyokan terhadap AG, seorang anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) di wilayah Gamasan, Jl. Ambarawa-Bandungan, Kabupaten Semarang, pada 18 Mei 2025, memperlihatkan eskalasi kekerasan komunal dan lemahnya kontrol terhadap kelompok-kelompok premanisme. Tulisan ini menganalisis kejadian tersebut dalam kerangka hukum pidana, keamanan publik, serta relasi sosial di tengah organisasi massa berbasis ikatan kultural seperti PSHT.
Pada pukul 21.15 WIB tanggal 18 Mei 2025, AG (24), anggota PSHT pusat Madiun, menjadi korban pengeroyokan oleh sekelompok preman bersenjata tajam. Aksi kekerasan ini terjadi di wilayah Gamasan, Bandungan, dan dipimpin oleh individu yang dikenal masyarakat dengan nama “Pak San”. Korban dianiaya di sebuah gang sempit dan mengalami luka serius, termasuk dugaan patah tulang pergelangan tangan kanan. AG kemudian dirawat intensif di RSUD Ambarawa.

Menurut keterangan saksi mata, para pelaku tidak hanya menyerang fisik korban, tetapi juga mengancam akan menghabisi nyawanya. Aksi tersebut baru berhenti setelah sejumlah anggota PSHT tiba di lokasi, termasuk Ketua Cabang PSHT Kabupaten Semarang, Mas Sulistiyo, yang turut memberikan dukungan moril kepada korban dan mengecam keras aksi premanisme tersebut.
Dalam perspektif hukum pidana Indonesia, tindakan pengeroyokan terhadap AG memenuhi unsur tindak pidana dalam Pasal 170 KUHP yang mengatur mengenai kekerasan secara bersama-sama terhadap orang. Jika terbukti menggunakan senjata tajam, maka pelaku dapat dijerat dengan pemberat pidana.
Selain itu, ancaman pembunuhan yang dilontarkan oleh para pelaku dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang diatur dalam Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, bahkan bisa ditingkatkan menjadi Pasal 338 jo. 53 KUHP jika terdapat niat dan percobaan pembunuhan.
Kejadian ini menyoroti pula lemahnya peran preventif dari aparat keamanan setempat dalam mendeteksi keberadaan kelompok preman yang oleh warga disebut telah lama meresahkan. Ini mengindikasikan adanya kekosongan kekuasaan hukum (legal vacuum) dalam konteks pengawasan wilayah semi-urban yang rentan terhadap kekerasan lokal.
PSHT sebagai organisasi pencak silat berbasis kultural memiliki jaringan solidaritas yang kuat di masyarakat Jawa. Munculnya konflik yang menyasar anggotanya berpotensi memicu konflik horizontal, terutama jika tidak dikelola secara arif. Oleh karena itu, imbauan dari Mas Sulistiyo agar anggota tidak terprovokasi merupakan langkah penting dalam meredam eskalasi konflik sosial.
Kehadiran kelompok preman yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil dan anggota organisasi massa mencerminkan gejala degradasi ketertiban sipil. Jika tidak segera ditangani secara struktural dan hukum, potensi konflik lanjutan—baik dalam bentuk balas dendam maupun bentrok massal—sangat mungkin terjadi.
Aparat kepolisian, khususnya Polres Semarang, saat ini tengah melakukan investigasi. Namun, keterlambatan dalam menangkap pelaku dapat memunculkan kecurigaan publik terhadap ketegasan hukum. Kasus ini menjadi ujian serius bagi kredibilitas penegakan hukum di daerah yang kerap mengalami ketegangan antara komunitas lokal, organisasi massa, dan kelompok preman.
Penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi syarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan warga dan menjamin bahwa negara hadir dalam memberikan perlindungan kepada korban dan mencegah terulangnya kekerasan.
Kejadian pengeroyokan terhadap AG menuntut respons hukum yang cepat dan adil. Pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum harus mengambil langkah konkret untuk membongkar jaringan premanisme dan memperkuat peran intelijen sosial dalam mendeteksi potensi konflik. Sementara itu, organisasi masyarakat seperti PSHT perlu terus mempromosikan nilai-nilai kedamaian dan menjauhi reaksi emosional yang dapat memperburuk situasi.
Rekomendasi kebijakan:
- Polres Semarang perlu membentuk task force khusus untuk menangani premanisme.
- Pemda Kabupaten Semarang harus memperkuat pendekatan sosial melalui forum-forum lintas organisasi masyarakat untuk mencegah konflik horizontal.
- Revisi kebijakan keamanan lokal, termasuk penguatan sistem pelaporan warga, sangat diperlukan guna mengefektifkan deteksi dini terhadap potensi kekerasan.
Pewarta : MM (red)

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal