
RI News Portal. Jakarta. 22 Agustus 2025 – Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, yang sering kali melibatkan praktik pemerasan di sektor publik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengambil langkah tegas dengan menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (IE) sebagai salah satu dari 11 tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa pemerasan terkait pengurusan izin sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Kasus ini tidak hanya menyoroti kerentanan sistem birokrasi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), tetapi juga menggarisbawahi dampak sistemik korupsi terhadap pekerja dan buruh, yang sering menjadi korban akhir dari praktik mark-up biaya administratif.
Sertifikasi K3, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan peraturan turunannya, bertujuan untuk memastikan standar keamanan di tempat kerja, melindungi tenaga kerja dari risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Namun, dalam praktiknya, proses ini sering kali menjadi celah bagi oknum untuk melakukan eksploitasi. Kasus ini, yang telah berlangsung sejak 2019, memperlihatkan bagaimana biaya resmi sertifikasi sebesar Rp275.000 dapat dimanipulasi hingga mencapai Rp6.000.000 per pekerja, menghasilkan dugaan kerugian negara mencapai Rp81 miliar. Pendekatan analitis terhadap data ini menunjukkan pola korupsi berulang di sektor ketenagakerjaan, di mana mark-up biaya tidak hanya merugikan finansial tetapi juga menghambat akses pekerja informal terhadap sertifikasi, yang pada akhirnya meningkatkan risiko keselamatan kerja secara nasional.

Ketua KPK Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Jumat (22/8/2025), menyatakan bahwa lembaganya telah menemukan setidaknya dua alat bukti yang cukup untuk menaikkan status perkara ke tahap penyidikan. “KPK selanjutnya melakukan pemeriksaan intensif dan telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup,” ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan prinsip hukum acara pidana di Indonesia, di mana penyidikan memerlukan bukti permulaan yang memadai sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih lanjut, KPK menetapkan 11 tersangka, termasuk IE, yang diduga terlibat dalam jaringan pemerasan ini. Daftar tersangka mencakup pegawai Kemnaker dan pihak swasta, yang dapat diuraikan sebagai berikut dalam tabel untuk memudahkan pemahaman struktur organisasi yang terlibat:
No. | Nama/Inisial | Jabatan/Peran | Periode Jabatan |
---|---|---|---|
1 | IE (Immanuel Ebenezer) | Wakil Menteri Ketenagakerjaan | Saat ini |
2 | IBM | Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 | 2022-2025 |
3 | GAH | Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja | 2022-sekarang |
4 | SB | Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 | 2020-2025 |
5 | AK | Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja | 2020-sekarang |
6 | FRZ | Dirjen Binwasnaker dan K3 | Maret 2025-sekarang |
7 | HS | Direktur Bina Kelembagaan | 2021-Februari 2025 |
8 | SKP | Subkoordinator | Tidak disebutkan secara spesifik |
9 | SUP | Koordinator | Tidak disebutkan secara spesifik |
10 | TEM | Pihak PT KEMINDONESIA | Tidak disebutkan secara spesifik |
11 | MM | Pihak PT KEMINDONESIA | Tidak disebutkan secara spesifik |
Tabel ini mengilustrasikan bagaimana tersangka tersebar di berbagai level hierarki Kemnaker, mulai dari tingkat direktorat hingga koordinator, serta keterlibatan pihak swasta seperti PT KEMINDONESIA, yang diduga berperan sebagai fasilitator atau penerima manfaat. Analisis struktural menunjukkan bahwa korupsi ini bersifat kolektif, melibatkan kolusi antar-pegawai negeri dan entitas swasta, sebagaimana sering ditemukan dalam studi kasus korupsi birokrasi di negara berkembang.
Kasus ini diawali dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 21 Agustus 2025, yang menangkap IE dan rekan-rekannya di Jakarta. Menurut Setyo, pemerasan telah berlangsung secara sistematis sejak 2019, dengan total dugaan Rp81 miliar yang diperoleh dari mark-up biaya sertifikasi. Pendekatan kuantitatif KPK dalam menghitung kerugian ini mengandalkan audit forensik, yang memperhitungkan volume transaksi dan disparitas biaya resmi versus aktual. Implikasinya bagi sektor ketenagakerjaan adalah signifikan: pemerasan semacam ini tidak hanya mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara, tetapi juga memperburuk ketimpangan akses bagi buruh migran dan pekerja sektor informal, yang sering kali harus membayar biaya berlipat ganda untuk mendapatkan sertifikasi yang seharusnya terjangkau.
Para tersangka kini ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung dari 22 Agustus hingga 10 September 2025, di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK di Gedung Merah Putih. Mereka dipersangkakan dengan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal-pasal ini menargetkan tindak pemerasan oleh pejabat publik dan konspirasi korupsi, dengan ancaman hukuman penjara hingga seumur hidup, tergantung pada besaran kerugian negara.
Dari perspektif akademis, kasus ini menambah literatur tentang korupsi endemik di Kemnaker, yang sebelumnya juga terlibat dalam skandal izin tenaga kerja asing. Studi kasus seperti ini, sebagaimana dibahas dalam jurnal-jurnal seperti Journal of Southeast Asian Studies, menekankan perlunya reformasi institusional, termasuk digitalisasi proses sertifikasi untuk mengurangi intervensi manusiawi. Selain itu, implikasi politiknya terhadap pemerintahan saat ini patut diawasi, mengingat IE merupakan figur publik yang dekat dengan kalangan politik tertentu. Proses hukum selanjutnya diharapkan transparan, untuk memperkuat legitimasi KPK sebagai lembaga anti-korupsi di tengah kritik atas independensinya.
Kasus ini mengingatkan kita pada urgensi pengawasan berkelanjutan terhadap birokrasi, demi melindungi hak-hak pekerja dan integritas negara. Pembaruan lebih lanjut akan dipantau secara ketat oleh komunitas akademis dan masyarakat sipil.
Pewarta : Albertus Parikesit
