RI News Portal. Manado – Gelombang penolakan masyarakat Buha, Lingkungan V, Kota Manado terhadap rencana pembangunan tempat penampungan limbah kotoran manusia di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo semakin menguat. Salah satu tokoh muda, Christian Bagensa, tampil sebagai figur sentral yang menyuarakan aspirasi warga dengan tegas.
Masyarakat menilai rencana tersebut sebagai bentuk ketidakadilan ekologis, sebab mereka sudah lama menanggung beban sosial dan kesehatan akibat keberadaan TPA. Penambahan fasilitas limbah manusia dinilai hanya akan memperburuk kualitas lingkungan serta menambah kerentanan masyarakat sekitar.
“Stop! Kami menolak keras pembangunan tempat penampungan limbah kotoran manusia di sekitar TPA. Selama ini kami sudah menanggung dampak besar dari pembuangan sampah, jangan ditambah lagi dengan limbah manusia,” tegas warga dalam pernyataan sikap yang disuarakan bersama Bagensa.

Dalam pernyataannya, Christian Bagensa menyampaikan kritik terbuka kepada Wali Kota Manado. Menurutnya, kebijakan publik seharusnya berlandaskan prinsip keadilan sosial dan kesehatan masyarakat, bukan justru menambah potensi masalah baru.
Bagensa menegaskan, jika rencana itu diteruskan, masyarakat Buha berisiko menghadapi dampak jangka panjang berupa pencemaran tanah, air, hingga meningkatnya ancaman penyakit menular. Kondisi ini sejalan dengan kajian kesehatan lingkungan yang menempatkan sanitasi buruk sebagai salah satu faktor utama meningkatnya kerentanan kesehatan masyarakat perkotaan.
“Saya akan berdiri paling depan membela masyarakat. Tolak keras pembangunan tempat pembuangan limbah tersebut,” ujarnya dengan nada tegas.
Baca juga : Presiden Prabowo Tegaskan Perlindungan Aksi Damai dan Janjikan Kenaikan Pangkat untuk Polisi Korban Luka
Tidak hanya mengarahkan kritik pada pemerintah kota, Bagensa juga menyerukan agar Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus Komaling, mengambil peran lebih besar dalam merespons aspirasi warga. Menurutnya, solusi komprehensif perlu dicari dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan, termasuk opsi relokasi atau teknologi pengolahan limbah yang lebih ramah lingkungan.
Masyarakat Buha mengaku bangga memiliki pemimpin muda seperti Bagensa. Kehadirannya dinilai membawa warna baru dalam politik lokal, karena lebih menekankan kedekatan dengan rakyat dibanding pendekatan birokratis.
“Demi masyarakat, saya akan terus berjuang. Mengangkat yang terbuang, menjemput yang tertinggal,” tutup Bagensa, yang mendapat sambutan hangat dari warga.
Kasus penolakan rencana pembangunan penampungan limbah di TPA Sumompo mencerminkan kompleksitas tata kelola kota, khususnya dalam isu lingkungan. Menurut kajian kebijakan publik, pemerintah sering menghadapi dilema antara kebutuhan pembangunan infrastruktur dan aspirasi masyarakat terdampak.
Dalam perspektif etika politik, suara warga Buha adalah bentuk resistensi terhadap apa yang mereka anggap sebagai marginalisasi ruang hidup. Sementara dari sisi hukum lingkungan, kebijakan semacam ini seharusnya diawali dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang melibatkan partisipasi publik secara bermakna, bukan sekadar formalitas administratif.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa peran pemimpin muda seperti Bagensa penting dalam memperkuat demokrasi lokal, karena mampu menjadi jembatan antara kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Pewarta : Marco Kawulusan

