RI News Portal. Jakarta – Kuasa hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Maqdir Ismail, menegaskan bahwa kliennya sama sekali tidak menerima aliran dana gratifikasi senilai Rp137,16 miliar yang didakwakan jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Maqdir, uang tersebut diterima pihak lain, bukan Nurhadi secara langsung.
“Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan terdakwa. Perbuatan orang lain menerima uang, kemudian dianggap sebagai perbuatan dia, ini tidak benar,” ujar Maqdir dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Nurhadi diduga menerima gratifikasi dari berbagai pihak yang berperkara di lingkungan peradilan—baik tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali—pada kurun 2013–2019, baik saat masih menjabat maupun setelah purnatugas sebagai Sekretaris MA. Dana tersebut diduga mengalir melalui rekening menantunya, Rezky Herbiyono, serta beberapa nama lain yang diduga diperintahkan Nurhadi atau Rezky, antara lain Calvin Pratama, Soepriyo Waskita Adi, dan Yoga Dwi Hartiar.

Selain gratifikasi, Nurhadi juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai total Rp308,1 miliar (termasuk setara Rp835 juta dari US$50.000) pada periode 2012–2018. Modus yang diduga digunakan adalah penempatan dana pada rekening pihak lain, pembelian tanah dan bangunan, serta pembelian kendaraan.
Maqdir mempersoalkan pemisahan perkara yang dilakukan KPK. Menurutnya, jika bukti gratifikasi dan TPPU sudah ada sejak penanganan perkara sebelumnya, seharusnya dua pasal tersebut sudah didakwakan bersamaan pada persidangan tahun 2020–2021 yang berujung vonis 6 tahun penjara bagi Nurhadi (10 Maret 2021). Saat itu, Nurhadi terbukti menerima suap Rp35,73 miliar dan gratifikasi Rp13,79 miliar.
“Kebijakan memisahkan perkara suap-gratifikasi dengan perkara TPPU, lalu kini membuat perkara gratifikasi dan TPPU baru, menimbulkan kesan ada upaya memperpanjang atau menambah hukuman setelah klien kami memperoleh pembebasan bersyarat,” kata Maqdir.
Nurhadi sendiri kembali ditahan KPK pada 29 Juni 2025, tak lama setelah memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, tempat ia menjalani sisa pidana vonis pertama sejak dieksekusi pada 7 Januari 2022.
Atas dakwaan terbaru ini, Nurhadi terancam hukuman berdasarkan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah UU 20/2001, serta Pasal 3 UU 8/2010 tentang TPPU juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Maqdir menegaskan bahwa pembelaan timnya akan terus menyoal validitas pembuktian jaksa, khususnya soal atribusi penerimaan uang kepada Nurhadi secara pribadi. “Kami berharap proses hukum ini berjalan untuk mencari kebenaran dan kepastian hukum, bukan menciptakan ketidakadilan,” pungkasnya.
Persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan telah digelar, dan tim kuasa hukum Nurhadi menyatakan akan mengajukan eksepsi pada pekan depan.
Pewarta : Yudha Purnama

