RI News Portal. Subulussalam, 4 Desember 2025 – Surat edaran bernomor 500.2.2.14/14/498/2025 yang diterbitkan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (Disperindagkop UKM) Kota Subulussalam memicu gelombang protes keras dari masyarakat. Surat yang ditujukan kepada seluruh pengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah ini mewajibkan pembatasan penjualan BBM bersubsidi: maksimal 2 liter per sepeda motor atau becak bermotor dan 10 liter per kendaraan roda empat dalam satu kali pengisian.
Kebijakan yang mulai diberlakukan pekan ini langsung membuat antrean di hampir semua SPBU di Subulussalam membentang ratusan meter. Banyak konsumen mengaku harus mengantre hingga 8–12 jam hanya untuk mendapatkan 2 liter bensin.
“Sungguh keterlaluan. Saya berangkat dari rumah pukul 04.00 pagi, pulang hampir magrib, dapatnya cuma 2 liter. Ini bukan solusi, ini menyiksa rakyat,” keluh Rusli (42), warga Kecamatan Simpang Kiri, kepada wartawan di salah satu SPBU di Jalan Teuku Umar, Rabu (3/12/2025).

Kondisi semakin memilukan karena banyak pembeli datang dari desa-desa di luar kota dengan jarak tempuh 15–25 kilometer. “Saya dari Penuntungan, 22 kilometer. Bensin habis di jalan bolak-balik, dapatnya cuma 2 liter. Untuk apa capek-capek begini kalau ujung-ujungnya tetap kekurangan,” kata Zulkifli, seorang petani sawit.
Surat edaran tersebut langsung viral di grup-grup WhatsApp dan media sosial warga Subulussalam sejak Selasa malam. Tagar #TolakJatah2Liter dan #SubulussalamKrisisBBM sempat menjadi trending topic lokal dalam hitungan jam.
Seorang pengamat kebijakan energi yang enggan disebut namanya menilai kebijakan pembatasan jatah ini justru bertentangan dengan tujuan awal pengendalian antrean. “Ini kebijakan reaktif yang tidak berbasis data dan tidak menyentuh akar masalah,” ujarnya.
Menurutnya, kelangkaan BBM di Subulussalam bukan karena konsumsi masyarakat yang berlebihan, melainkan karena pasokan harian dari Depot Pengisian Pertamina di wilayah terdekat yang memang terbatas. “Biasanya hanya satu mobil tangki per hari yang masuk ke Subulussalam. Kalau ingin antrean hilang dalam waktu singkat, pemerintah kota harus berani meminta tambahan kuota minimal empat sampai lima tangki per hari. Pertanyaannya: apakah Pemko berani menyurati Pertamina secara resmi dan memastikan stok di depot mencukupi?” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa BBM bersubsidi adalah hak masyarakat sesuai Perpres No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. “Membatasi 2 liter per hari sama saja mempersulit akses masyarakat terhadap hak dasar tersebut, terutama di daerah tertinggal seperti Subulussalam yang hampir 70 persen penduduknya pengguna sepeda motor,” imbuhnya.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Disperindagkop UKM Kota Subulussalam belum berhasil dikonfirmasi. Beberapa pengelola SPBU yang enggan disebut namanya mengaku hanya menjalankan perintah tertulis dari dinas. “Kami juga bingung. Kalau tidak ikut aturan bisa kena sanksi, tapi kalau ikut aturan masyarakat marah kepada kami,” ujar salah seorang pengelola SPBU swasta.
Masyarakat kini menuntut agar surat edaran tersebut segera dicabut atau paling tidak direvisi dengan pendekatan yang lebih manusiawi. “Kalau memang kuotanya kurang, tambah kuotanya. Jangan rakyat yang dikorbankan terus,” tandas Amiruddin, koordinator aksi warga yang mengaku siap menggelar unjuk rasa di kantor wali kota jika dalam tiga hari ke depan tidak ada solusi nyata.
Kebijakan pembatasan jatah BBM di Subulussalam ini menjadi potret betapa sulitnya pemerintah daerah menyeimbangkan kepentingan pengendalian subsidi dengan kebutuhan riil masyarakat di tengah keterbatasan pasokan nasional.
Pewarta : Jaulim Saran

