RI News Portal. Lampung Selatan, 15 November 2025 – Upaya penyelundupan satwa liar melalui jalur darat-laut kembali terbongkar di Lampung Selatan. Personel Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) Polres Lampung Selatan, berkolaborasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), otoritas karantina, dan Jaringan Satwa Indonesia (JSI), berhasil mengintersep 458 ekor burung dari berbagai spesies yang diperdagangkan secara ilegal pada Jumat malam (14/11) di area pemeriksaan Seaport Interdiction Pelabuhan Bakauheni.
Kapolsek KSKP Bakauheni, AKP Ferdo Elfianto, menyatakan bahwa pengungkapan ini berawal dari kecurigaan petugas terhadap sebuah bus bernama Almira Putri Harum. “Pemeriksaan rutin mengungkap tumpukan keranjang putih di sudut belakang atas kendaraan, yang ternyata berisi ratusan burung liar tanpa dokumen pendukung,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Sabtu (15/11).
Burung-burung tersebut, menurut pengakuan sopir, diangkut dari Bandar Jaya di Lampung Tengah dengan tujuan akhir Jakarta. Spesies yang diamankan mencakup ciblek, tepus abu, poksai, rambatan paruh merah, cerucuk, konin, sikatan Asia, tali pocong, kedasih, serta tledekan gunung. Semuanya tidak dilengkapi surat kesehatan, izin perdagangan, atau dokumen konservasi yang diwajibkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait perdagangan satwa dilindungi.

Pasca-pengamanan, seluruh burung dibawa ke markas KSKP Bakauheni untuk verifikasi lebih lanjut sebelum diserahkan ke kantor karantina setempat guna penanganan rehabilitasi dan pelepasliaran potensial. “Kasus ini menegaskan bahwa Pelabuhan Bakauheni tetap menjadi koridor kritis bagi perdagangan ilegal satwa liar menuju Jawa, meskipun pengawasan telah ditingkatkan,” tambah AKP Elfianto.
Dari perspektif ekologis, penyelundupan semacam ini tidak hanya melanggar regulasi nasional tetapi juga mengancam keseimbangan biodiversitas Sumatra. Beberapa spesies yang terlibat, seperti poksai dan tledekan gunung, termasuk dalam daftar rentan menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), di mana penangkapan liar berkontribusi pada penurunan populasi hingga 20-30% di habitat asli akibat fragmentasi hutan dan permintaan pasar burung hobi di pulau-pulau padat penduduk.
Baca juga : Pemprov Sumut Usung Penyertaan Modal Non-Kas untuk Dorong Bank Sumut Capai KBMI 2
Analisis forensik awal menunjukkan pola rantai pasok yang sistematis: burung ditangkap di pedalaman Lampung Tengah, dikonsolidasikan di titik transit darat, lalu dieksploitasi celah pengawasan angkutan umum untuk penyeberangan feri. Kolaborasi lintas instansi ini, yang melibatkan intelijen berbasis komunitas dari JSI, menjadi model efektif untuk memutus mata rantai tersebut. Namun, pakar konservasi menekankan perlunya integrasi teknologi seperti pemindaian X-ray portabel dan database digital spesies untuk mencegah eskalasi di masa depan.
Kasus ini mencerminkan tren nasional di mana perdagangan satwa liar ilegal menyumbang kerugian ekonomi hingga miliaran rupiah per tahun, sekaligus memperburuk risiko penyebaran penyakit zoonotik. Penegakan hukum yang konsisten di pintu gerbang antar-pulau seperti Bakauheni krusial untuk menjaga integritas ekosistem nasional, terutama di tengah tekanan urbanisasi dan perdagangan daring yang semakin canggih.
Pewarta : T-Gaul

