
RI News Portal. Jakarta 28 September 2025 – Dalam pidato tegas di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty menegaskan bahwa negaranya tidak akan pernah menjadi alat untuk menyelesaikan isu Palestina melalui pengusiran atau penghapusan identitas rakyat Palestina. Berbicara pada Sabtu, 27 September, Abdelatty menegaskan komitmen kuat Mesir untuk mendukung ketahanan rakyat Palestina dan integritas wilayah mereka, sambil menyatakan kesiapan bekerja sama dengan Presiden AS Donald Trump untuk mencari solusi berkelanjutan bagi konflik yang telah berlangsung lama ini.
“Kami tegaskan dengan jelas: Mesir tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi gerbang untuk melenyapkan rakyat Palestina. Kami akan terus mendukung keteguhan rakyat Palestina yang masih mempertahankan tanah air mereka,” ujar Abdelatty dalam pidatonya di PBB. Pernyataan ini disampaikan di tengah ketegangan regional yang meningkat dan manuver diplomatik yang terus berkembang untuk mengatasi krisis Gaza, yang terus berlangsung di tengah tuduhan genosida dan agresi yang ditujukan kepada Israel oleh beberapa negara Arab.
Abdelatty menegaskan bahwa Mesir menolak segala skenario yang melibatkan pemindahan paksa warga Palestina dari Jalur Gaza, menyebut usulan semacam itu sama sekali tidak dapat diterima. Ia menyoroti peran Mesir sebagai mediator lama dalam negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas, menempatkan Kairo sebagai aktor penting dalam mempromosikan stabilitas tanpa mengorbankan hak-hak Palestina. Namun, ia juga menegaskan kesiapan Mesir untuk bekerja sama dengan pemerintahan Trump terkait visi untuk Gaza, asalkan sejalan dengan prinsip keadilan dan hak menentukan nasib sendiri.

Konteks pernyataan Abdelatty merujuk pada langkah diplomatik terbaru Presiden Trump. Pada Februari 2025, Trump mengumumkan rencana AS untuk mengambil alih upaya rekonstruksi Gaza, sebuah langkah yang awalnya memicu kekhawatiran tentang kemungkinan pemindahan penduduk. Ada laporan yang menyebutkan usulan agar warga Gaza dipindahkan secara permanen ke negara tetangga seperti Yordania atau Mesir—usulan yang berulang kali ditolak oleh pihak berwenang Mesir karena dianggap melanggar norma internasional dan kedaulatan regional. Sikap ini mencerminkan kewaspadaan Mesir terhadap perbatasannya, terutama di penyeberangan Rafah, yang menjadi jalur utama bantuan kemanusiaan, tetapi bukan untuk eksodus massal.
Baru-baru ini, pada Selasa, 24 September, Trump mempresentasikan rencana perdamaian Gaza yang terdiri dari 21 poin kepada sejumlah pemimpin Arab dan Muslim di sela-sela Sidang Umum PBB. Menurut laporan Axios, rencana tersebut berfokus pada beberapa prinsip utama: gencatan senjata menyeluruh, pembebasan sandera tanpa syarat, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Gaza. Yang krusial, rencana ini mengecualikan Hamas dari tata kelola pasca-perang, mengusulkan pembentukan struktur administratif baru yang didanai dan diamankan oleh negara-negara Arab dan Muslim. Ini mencakup pembentukan pasukan keamanan multinasional yang terdiri dari personel Palestina dan militer dari negara-negara sekutu, untuk memastikan stabilitas jangka panjang dan mencegah kebangkitan kembali kelompok militan.
Dukungan bersyarat Mesir terhadap rencana ini menunjukkan perubahan halus dalam diplomasi regional. Abdelatty memuji potensi rencana tersebut untuk mengatasi akar permasalahan ketidakstabilan, menegaskan bahwa keamanan sejati bagi Israel—dan Timur Tengah secara luas—tidak dapat dicapai tanpa memenuhi aspirasi Palestina. Namun, ia menegaskan batasan tegas: setiap solusi harus menjaga keberadaan rakyat Palestina di Gaza, menghindari apa yang ia sebut sebagai “kejahatan” terhadap kemanusiaan.
Situasi ini menyoroti keseimbangan kekuatan yang rumit dalam geopolitik Timur Tengah. Posisi Mesir didasarkan pada perjanjian damai tahun 1979 dengan Israel, yang menempatkan Kairo sebagai perantara moderasi, namun dibatasi oleh tekanan domestik dan solidaritas pan-Arab. Preseden sejarah, seperti Nakba 1948 dan krisis pengungsi berikutnya, membentuk keengganan Mesir untuk menerima populasi pengungsi, yang dapat membebani sumber daya dan memicu keresahan dalam negeri. Rencana Trump, meskipun ambisius, memiliki kemiripan dengan inisiatif masa lalu seperti Perjanjian Oslo atau Peta Jalan Quartet, tetapi menawarkan penekanan baru pada mekanisme keamanan yang dipimpin Arab—sebuah pendekatan yang dapat meningkatkan dukungan dari pemangku kepentingan regional.

Para analis menilai bahwa dukungan Mesir bergantung pada jaminan terhadap aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel, sebuah isu yang kabarnya telah diatasi Trump dengan meyakinkan para pemimpin bahwa AS menentang langkah tersebut. Ini dapat membuka jalan bagi kerangka kenegaraan Palestina yang lebih luas, meskipun skeptisisme tetap ada di tengah konflik yang berlangsung. Seperti yang ditegaskan Abdelatty, kawasan ini tidak akan mencapai perdamaian abadi tanpa menghadapi realitas pendudukan dan memastikan hasil yang adil bagi semua pihak.
Dalam lanskap hubungan internasional yang terus berkembang, pernyataan Mesir menjadi pengingat akan keterbatasan intervensi eksternal. Dengan mendukung keteguhan Palestina sambil terlibat dengan cetak biru Trump, Kairo menavigasi jalur yang mengutamakan kedaulatan dan dialog, berpotensi mengubah dinamika konflik Israel-Palestina di masa depan. Seiring diskusi berlanjut, komunitas internasional mengamati dengan penuh harap namun waspada, menantikan apakah retorika dapat diterjemahkan menjadi kemajuan nyata.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
