
RI News Portal. Nanga Pinoh, Melawi – Di tengah hiruk-pikuk isu otonomi daerah dan hak masyarakat adat yang kian mengemuka di Kalimantan, Kantor Bupati Melawi menjadi saksi dialog terbuka yang menjanjikan langkah kolaboratif baru. Senin (29/9/2025), audiensi antara Pemerintah Kabupaten Melawi dan Aliansi Borneo Raya Mengugat berlangsung khidmat, dengan pengamanan ketat dari Polres Melawi yang memastikan setiap suara aspirasi terdengar tanpa gangguan. Kegiatan ini bukan sekadar pertemuan formal, melainkan upaya strategis membangun ekosistem komunikasi yang inklusif, di mana tuntutan masyarakat adat tak lagi terpinggirkan oleh birokrasi kaku.
Bupati Melawi, H. Dadi Sunarya Usfa Yursa, memimpin langsung sesi audiensi yang dihadiri puluhan perwakilan aliansi. Didampingi Wakil Bupati, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Melawi, serta Sekretaris Daerah (Sekda), Bupati Dadi menekankan komitmen pemerintah daerah untuk “mendengar sebelum memutuskan”. “Kami di sini bukan sebagai penguasa, tapi sebagai fasilitator. Aspirasi dari aliansi seperti Borneo Raya Mengugat adalah benang merah yang menyatukan kita dalam visi Melawi yang berkeadilan,” ujarnya di sela diskusi yang berlangsung selama dua jam.
Aliansi Borneo Raya Mengugat, yang baru-baru ini menggebrak dengan 13 tuntutan nasional pada peringatan Hari Kemerdekaan di perbatasan Entikong Agustus lalu, hadir dengan agenda yang lebih lokal kali ini. Mereka menyuarakan isu krusial seperti percepatan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam, pencabutan status lahan lindung yang tumpang tindih dengan wilayah adat, serta penolakan intoleransi yang mengancam budaya Dayak. “Ini langkah awal untuk memastikan suara Borneo tak hilang di tengah pembangunan. Kami gugat bukan untuk memusuhi, tapi untuk membangun,” tegas Andreas, ketua aliansi, yang ditemui usai audiensi.

Di balik ketenangan ruang audiensi, pengamanan Polres Melawi beroperasi seperti orkestra yang tak terlihat. Dipimpin langsung oleh Kabag Operasi (Kabag Ops) AKP Bhakti Juni Ardhi, tim gabungan dari personel Polres Melawi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Pemkab Melawi tersebar di titik-titik strategis. Dari area parkir yang dipantau ketat hingga pintu masuk dan koridor ruang pertemuan, pengawasan dilakukan dengan presisi. “Kami tak hanya menjaga fisik, tapi juga ruang dialog. Setiap potensi gangguan dicegah dini, agar aspirasi mengalir bebas,” jelas AKP Bhakti, yang memimpin briefing pra-acara sejak pagi.
Strategi pengamanan ini mencerminkan pendekatan proaktif Polres Melawi, yang terinspirasi dari pengalaman mengamankan aksi petani sawit mandiri Agustus lalu. Dengan 66 personel dikerahkan pada kesempatan sebelumnya, kali ini jumlahnya disesuaikan untuk efisiensi, tapi tetap fokus pada pencegahan. Tak ada insiden yang dilaporkan; justru, kehadiran aparat justru menjadi simbol netralitas, memungkinkan audiensi berakhir dengan kesepakatan lisan untuk tindak lanjut dalam 30 hari ke depan.
Baca juga : Pelantikan Ratusan ASN Baru di Subulussalam: Momentum Penguatan Birokrasi Daerah di Tengah Tantangan Otonomi
Lebih dari sekadar kejadian lokal, audiensi ini menggambarkan dinamika demokrasi berbasis akar rumput di Kalimantan. Di era di mana tuntutan otonomi seperti pembentukan Provinsi Kapuas Raya masih bergaung, inisiatif seperti ini bisa menjadi model bagi daerah lain. Akademis, langkah ini selaras dengan prinsip good governance: partisipasi masyarakat sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan. “Harmoni bukan mimpi, tapi hasil dialog berkelanjutan. Melawi siap jadi pionir,” tambah Bupati Dadi, menutup sesi dengan jabat tangan simbolis.
Diharapkan menjadi batu loncatan, audiensi ini membuka pintu bagi forum serupa dengan stakeholders lain. Di Melawi yang kaya hutan dan adat, suara aliansi seperti Borneo Raya Mengugat bukan ancaman, melainkan katalisator perubahan. Dengan pengamanan Polres sebagai penjaga pintu, dialog ini tak hanya aman, tapi juga inspiratif—mengajak kita semua merenung: bagaimana membangun Borneo yang adil, satu audiensi pada satu waktu.
Pewarta : Lisa Susanti
