RI News Portal. Semarang, 14 November 2025 – Seorang mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) berinisial CRA resmi ditahan Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah setelah diduga memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memproduksi dan menyebarkan konten pornografi yang melibatkan wajah seorang siswi SMAN 11 Semarang. Kasus ini menyoroti risiko etis dan hukum dari penyalahgunaan AI dalam ranah digital, di tengah maraknya tools generatif yang semakin mudah diakses.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Artanto, menyatakan bahwa penahanan CRA dilakukan pada Kamis (13/11) malam hari pasca-pemeriksaan intensif yang berlangsung dari siang hingga malam. “Proses pemeriksaan berjalan lancar dengan sikap kooperatif dari tersangka, dan penahanan langsung dilaksanakan di rumah tahanan Polda sesuai ketentuan prosedural yang berlaku,” ujar Artanto dalam keterangan resminya pada Jumat (14/11).
Penetapan status tersangka terhadap CRA didasarkan pada bukti awal yang menunjukkan penggunaan AI untuk mengedit dan menyisipkan wajah korban ke dalam materi pornografi. Video hasil manipulasi tersebut kemudian menyebar luas melalui platform media sosial, memicu kekhawatiran akan dampak psikologis jangka panjang bagi korban serta potensi eskalasi kasus serupa di kalangan generasi muda.

Dari perspektif hukum, CRA dijerat dengan dua undang-undang sekaligus: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mengatur larangan produksi dan distribusi konten eksplisit, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mencakup penyebaran materi melanggar kesusilaan melalui sarana elektronik. Kombinasi pasal ini mencerminkan adaptasi kerangka hukum Indonesia terhadap ancaman teknologi baru, di mana AI deepfake semakin menjadi alat kejahatan siber.
Secara akademis, kasus ini menggarisbawahi urgensi pengembangan regulasi spesifik untuk AI generatif. Pakar hukum siber dari fakultas hukum universitas negeri di Jawa Tengah menekankan bahwa tools AI seperti Stable Diffusion atau Midjourney, meski dirancang untuk kreativitas, dapat disalahgunakan tanpa pengawasan etika. “Deepfake pornografi tidak hanya melanggar privasi, tapi juga memperburuk ketimpangan gender di ruang digital, di mana perempuan sering menjadi target utama,” kata seorang analis kebijakan digital yang enggan disebut namanya, seraya menyarankan integrasi kurikulum literasi AI di pendidikan tinggi untuk mencegah penyalahgunaan.
Baca juga : Prabowo-Abdullah II Perkuat Aliansi Historis Indonesia-Yordania di Tengah Gejolak Timur Tengah
Penyebaran video editan CRA menimbulkan gelombang reaksi di komunitas pendidikan Semarang. Pihak SMAN 11 Semarang dilaporkan telah memberikan pendampingan psikologis kepada siswi yang menjadi korban, sementara Undip menyatakan akan melakukan investigasi internal terhadap mahasiswanya. Kasus serupa baru-baru ini muncul di beberapa negara, seperti Korea Selatan dengan skandal deepfake di sekolah, yang mendorong pemerintah setempat memberlakukan sanksi lebih berat.
Penyidik Polda Jawa Tengah saat ini fokus pada pelacakan jejak digital untuk mengidentifikasi penerima dan penyebar sekunder video tersebut. Artanto menambahkan bahwa kasus ini menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang tanggung jawab digital: “Teknologi AI adalah pedang bermata dua; inovasi harus diimbangi dengan kesadaran hukum dan etika.”
Perkembangan lebih lanjut akan dipantau seiring proses penyidikan, dengan potensi implikasi lebih luas terhadap kebijakan nasional pengendalian AI di Indonesia.
Pewarta : Sriyanto

