
RI News Portal. Kuala Lumpur, 15 Oktober 2025 – Dalam langkah diplomatik yang berpotensi mengubah dinamika geopolitik Asia Tenggara, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dijadwalkan mendarat di Kuala Lumpur pada 26 Oktober mendatang. Pengumuman ini disampaikan Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan pada Selasa kemarin, menandai babak baru keterlibatan Washington dalam menyelesaikan konflik perbatasan berdarah antara Thailand dan Kamboja. Kunjungan Trump bukan sekadar seremonial; ia akan menjadi saksi mata penandatanganan Kuala Lumpur Accord, deklarasi historis yang diharapkan mengakhiri era ketegangan abadi di garis perbatasan sepanjang 817 kilometer.
Konflik Juli lalu, yang meletus seperti bara lama yang menyala kembali, menjadi pengingat pahit betapa rapuhnya perdamaian di kawasan ini. Selama lima hari pertempuran sengit di titik-titik perbatasan yang belum diratifikasi, setidaknya 48 nyawa melayang, sementara ratusan ribu warga sipil terpaksa mengungsi ke tempat penampungan darurat. Ini adalah bentrokan terparah dalam lebih dari satu dekade, mengguncang fondasi kerja sama ASEAN dan memicu kekhawatiran global akan eskalasi yang lebih luas. “Insiden ini bukan hanya tragedi bilateral, tapi ujian bagi seluruh arsitektur keamanan regional,” tulis Mohamad dalam pernyataannya, yang dikutip dari sumber Reuters.
Puncak diplomasi ini akan terwujud di KTT ASEAN ke-45, yang berlangsung dari 26 hingga 28 Oktober di ibu kota Malaysia. Selain para pemimpin 10 negara anggota, forum ini akan menyatukan mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, Rusia, dan Amerika Serikat—sebuah susunan yang jarang terjadi di tengah persaingan superpower. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim secara tegas menyatakan kehadiran Trump, meski Gedung Putih belum merespons secara resmi. Seorang sumber dekat dengan perencanaan kunjungan membocorkan kepada OnlineJournal ASEAN Insights bahwa agenda Trump mencakup tidak hanya penandatanganan accord, tapi juga pembicaraan bilateral dengan Anwar mengenai investasi AS di rantai pasok semikonduktor Malaysia.

Kuala Lumpur Accord dirancang sebagai instrumen hukum yang mengikat, dengan fokus pada gencatan senjata permanen. Dokumen ini akan memerintahkan penghapusan total ranjau darat dan artileri berat di zona sengketa, langkah krusial yang selama ini menghalangi demarkasi batas. Lebih dari itu, accord ini membuka pintu bagi kolaborasi lintas batas dalam memerangi kejahatan transnasional—seperti perdagangan manusia dan penyelundupan narkoba—yang sering kali dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata di wilayah perbatasan. “Malaysia dan AS akan memimpin fasilitasi ini, memastikan accord bukan sekadar kertas, tapi realitas di lapangan,” tegas Mohamad, menekankan peran tuan rumah sebagai mediator netral.
Momentum ini dibangun atas pertemuan intensif akhir pekan lalu antara Menteri Luar Negeri Thailand Sihasak Phuangketkeow dan rekan Kamboja di Kuala Lumpur. Sihasak, yang dijadwalkan kembali pekan ini, menguraikan empat tuntutan utama Bangkok yang menjadi pondasi accord. Pertama, penarikan penuh senjata berat dari garis depan untuk mencegah eskalasi mendadak. Kedua, pembersihan ranjau darat secara bertahap di wilayah sengketa, dengan pengawasan bersama PBB. Ketiga, kerjasama intelijen untuk membasmi jaringan kriminal lintas batas yang memicu konflik. Keempat, penghentian total pelanggaran wilayah di enam titik panas utama, didukung teknologi satelit AS untuk verifikasi.
Tuntutan-tuntutan ini, menurut analis seperti Prof. Thongchai Winichakul dari Universitas Chulalongkorn, mencerminkan strategi Thailand untuk mengubah konflik militer menjadi kerjasama ekonomi. “Dengan accord ini, perbatasan yang dulu berdarah bisa menjadi koridor perdagangan senilai miliaran dolar,” katanya dalam wawancara eksklusif dengan OnlineJournal ASEAN Insights. Phnom Penh, meski awalnya defensif, kini menunjukkan fleksibilitas, didorong oleh tekanan ASEAN dan janji bantuan pembangunan dari AS.
Kunjungan Trump tiba di saat krusial, ketika pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara semakin mendominasi melalui inisiatif Belt and Road. Dengan hadir sebagai fasilitator perdamaian, AS berupaya merebut narasi kepemimpinan regional, terutama setelah konflik Ukraine menunjukkan kelemahan diplomasi multilateral. “Ini adalah kemenangan soft power Trump: dari ‘America First’ ke ‘ASEAN First’,” komentar Dr. Evelyn Goh, pakar keamanan dari Universitas Oxford. Namun, tantangan tetap ada—Gedung Putih harus mengonfirmasi cepat untuk menghindari spekulasi, sementara Rusia dan Jepang di KTT bisa mendorong agenda mereka sendiri.
Bagi rakyat Thailand dan Kamboja, accord ini berarti harapan pulang bagi ratusan ribu pengungsi. Bagi Malaysia, ini adalah peninggian status sebagai pusat diplomasi global. Dan bagi Trump, kesempatan emas untuk mewariskan legacy perdamaian sebelum pemilu AS 2026. Saat pesawat Air Force One mendarat di KLIA, dunia akan menyaksikan apakah Kuala Lumpur Accord benar-benar menutup luka lama—orang-orang di perbatasan itu akhirnya bisa bernapas lega.
Pewarta : Setiawan Wibisono
