
RI News Portal. Jakarta, 17 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggali jejak dugaan korupsi dalam pengolahan anoda logam antara PT ANTAM (Persero) dan PT Loco Montrado (LCM). Pemeriksaan terhadap empat saksi baru-baru ini mengungkap kejanggalan mendasar dalam proses produksi, yang diduga menyebabkan kerugian keuangan negara melebihi Rp100 miliar. Temuan ini tidak hanya menyoroti penyimpangan kontrak, tetapi juga potensi pertanggungjawaban pidana korporasi yang lebih luas.
Dalam keterangannya Jumat ini, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan bahwa penyidik telah memeriksa Fakhri Reza, Hardianto Tumpak Manurung, Helminto Jaharjo Sitanggang, dan Ilham Iskandar Siregar. “Keempatnya hadir dan didalami terkait proses pengolahan anoda logam di ANTAM,” ujar Budi. Pemeriksaan ini fokus pada mekanisme produksi dan distribusi yang berpotensi merugikan aset negara.
Inti kejanggalan terletak pada rumus pertukaran yang tidak wajar. Secara normal, pengolahan satu kilogram anoda logam dari ANTAM seharusnya menghasilkan emas dan perak sebagai output utama. Namun, proses di PT LCM justru menyederhanakan hasil akhir hanya menjadi sekitar 3 gram emas per kilogram, tanpa jejak perak sama sekali. “Setiap 1 kilogram anoda logam yang dikirimkan dari PT ANTAM ke PT LCM ini kemudian hanya ditukar dengan emas sekitar 3 gram,” tegas Budi.

Modus ini, menurut KPK, menciptakan celah penyembunyian aset perak yang bernilai tinggi. Akibatnya, negara kehilangan pendapatan signifikan dari produksi logam mulia yang seharusnya mengalir ke kas BUMN. Penyidik kini mendalami apakah ketidakhadiran perak merupakan kelalaian teknis atau rekayasa disengaja untuk menguntungkan pihak tertentu.
Perkembangan krusial lainnya adalah penetapan PT Loco Montrado sebagai tersangka korporasi, sebagaimana ditegaskan Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu pada 7 Agustus 2025. “Pertanggungjawaban pidana tidak hanya dibebankan kepada orang, tapi juga perusahaannya,” katanya. Langkah ini menandai pendekatan KPK yang lebih tegas terhadap entitas bisnis, di mana korporasi bisa dihukum secara kolektif atas praktik koruptifnya.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua individu sebagai tersangka: Siman Bahar dan Dodi Martimbang, General Manager Unit Pengolahan PT ANTAM. Dodi telah divonis 6,5 tahun penjara, sementara Siman belum ditahan karena alasan kesehatan. Kasus ini berawal dari kontrak kerjasama tahun 2017, di mana penyimpangan produksi diduga menjadi pintu masuk korupsi sistemik.
Dari perspektif akademis, kasus ini menjadi studi kasus krusial tentang kerentanan tata kelola BUMN di sektor pertambangan. Peneliti korupsi dari lembaga independen menilai modus pertukaran anoda logam mencerminkan “asimetri informasi” dalam rantai pasok, di mana perusahaan mitra swasta bisa memanipulasi output untuk menggerus nilai aset negara. Kerugian Rp100 miliar lebih bukan hanya angka finansial, tapi juga erosi kepercayaan publik terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Baca juga : Bayang Dendam di Balik Layar: Qorin 2 dan Refleksi Gelap atas Trauma Perundungan di Sinema Indonesia
Analisis mendalam menunjukkan bahwa tanpa audit independen berbasis teknologi, seperti pemindaian spektral untuk verifikasi perak, praktik serupa berpotensi berulang di industri logam mulia. KPK kini tidak hanya mengejar individu, tapi juga mereformasi mekanisme kontrak kerjasama agar transparan dan berbasis data real-time.
Kasus ANTAM-Loco Montrado ini menjadi pengingat pahit: korupsi di BUMN bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan sabotase terhadap pembangunan berkelanjutan. Dengan pemeriksaan yang terus bergulir, KPK diharapkan tak hanya menindak, tapi juga mencegah agar emas dan perak negara tak lagi “hilang” dalam bayang-bayang modus.
Pewarta : Albertus Parikesit
