
RI News Portal. Padangsidimpuan, 12 Oktober 2025 – Dalam sebuah kasus yang semakin menggelapkan citra penegakan hukum di Sumatera Utara, penahanan empat aktivis di Kota Padangsidimpuan pasca-operasi tangkap tangan (OTT) kini memicu gelombang kecaman publik. Dugaan penganiayaan terhadap salah satu tahanan, inisial DS, di sel tahanan Mapolres setempat, ditambah pembatasan akses bagi tim penasehat hukum, telah menimbulkan pertanyaan mendasar tentang komitmen aparat terhadap due process of law. Peristiwa ini, yang mencuat hanya seminggu setelah penangkapan pada 6 Oktober lalu, menyoroti ketegangan antara aktivisme sipil dan kekuasaan negara di tingkat lokal.
Latar belakang kasus ini bermula dari OTT yang dilakukan Tim Satreskrim Polres Padangsidimpuan pada Senin malam, 6 Oktober 2025, di sebuah kafe di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan. Empat individu—berinisial DS, MAB, ZF, dan ARH—yang dikenal sebagai oknum aktivis dan anggota LSM, ditangkap atas dugaan pemerasan terhadap seorang aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota. Menurut kronologi awal yang beredar, pertemuan tersebut melibatkan permintaan uang Rp15 juta sebagai “dalih penanganan kasus”, yang langsung disita polisi sebagai barang bukti. Para aktivis ini, yang selama ini vokal dalam aksi unjuk rasa (unras) terkait isu korupsi dan kebijakan publik, kini menghadapi tuduhan yang berpotensi merusak kredibilitas gerakan sipil di daerah.
Namun, sorotan utama kini beralih ke kondisi pasca-penahanan. Pada Jumat malam, 10 Oktober 2025, informasi mengalir bahwa DS diduga mengalami penganiayaan di sel tahanan baru Mapolres Padangsidimpuan. Kabar ini baru sampai ke telinga tim penasehat hukum pada Sabtu, 11 Oktober, sekitar pukul 14.00 WIB. Hadi Alamsyah Harahap, salah satu anggota tim dari Law Firm Adnan Buyung Lubis yang menangani pembelaan DS dan rekannya, menyatakan keterkejutan mendalam atas insiden tersebut. “Kami baru mendapatkan kabar kalau klien kami DS diduga dipukuli di dalam sel tahanan baru. Kabar ini kami ketahui semalam,” ungkap Hadi kepada awak media pada Sabtu sore, dengan nada yang mencerminkan kekhawatiran mendalam.

Tanpa membuang waktu, Hadi dan rekan-rekannya segera bergerak. Sekitar pukul 15.30 WIB, mereka mendatangi petugas piket Tahanan dan Barang Bukti (Tahti), bertemu dengan Kasat Tahti Iptu Aswin Harahap, Kasat Reskrim AKP Hasiholan Naibaho, serta Kanit Tipidter. Tujuan utama: memeriksa kondisi fisik DS dan memastikan hak pendampingan hukum. Namun, upaya itu kandas. “Kami tidak diizinkan melihat kondisi klien kami,” tegas Hadi, menambahkan bahwa penolakan ini justru memperkuat dugaan adanya upaya penutupan fakta. “Penghalangan yang dilakukan oleh anggota Polres Kota Padangsidimpuan patut diduga kuat berkaitan dengan terjadinya penganiayaan terhadap DS dan kawan-kawannya.”
Dari perspektif hukum, sikap aparat ini menabrak fondasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menjadi pilar utama perlindungan hak tersangka di Indonesia. Pasal 54 KUHAP secara eksplisit menjamin hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari satu atau lebih penasehat selama proses pemeriksaan, sesuai tata cara yang ditentukan undang-undang. Pasal 55 melengkapi dengan hak penasehat untuk menghubungi tersangka setiap waktu demi kepentingan pembelaan. Lebih lanjut, Pasal 69 menegaskan kewajiban penasehat menjunjung tinggi tersangka, sementara Pasal 70 ayat (1) memberikan hak akses penuh sejak saat penangkapan atau penahanan, di semua tingkat pemeriksaan.
Hadi Alamsyah Harahap tidak segan menilai tindakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM). “Jika aparat kepolisian tetap menghalangi pendampingan, maka tindakan tersebut akan menciderai hak asasi tersangka dan melanggar prinsip due process of law sebagaimana diatur dalam KUHAP,” katanya tegas. Nada kecewanya semakin terasa saat ia menyiratkan risiko lebih lanjut: “Kalau begini cara polisi menangani kami, siap-siap publik kabar duka dari empat orang aktivis yang ditahan.” Pernyataan ini menggemakan kekhawatiran lebih luas tentang pola penanganan kasus aktivis di daerah, di mana kritik terhadap kekuasaan sering kali berujung pada represi terselubung.
Baca juga : Proyek Perkuatan Tebing Sungai Kapuas: Solusi Abrasi dan Keamanan Pemukiman
Kasus ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan cerminan dari dinamika yang lebih besar dalam ekosistem demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Aktivis seperti DS dan rekannya sering kali berperan sebagai pengawas independen terhadap potensi penyalahgunaan wewenang di tingkat pemerintahan daerah. Namun, tuduhan pemerasan yang melekat pada mereka—meski masih dalam proses penyelidikan—membuka ruang bagi narasi bahwa aktivisme bisa dimanfaatkan sebagai modus kriminal. Di sisi lain, dugaan penganiayaan dan pembatasan akses hukum mengingatkan pada kasus-kasus serupa di masa lalu, seperti penahanan aktivis lingkungan atau hak asasi di berbagai provinsi, yang sering kali dieksploitasi untuk membungkam suara disiden.
Publik Kota Padangsidimpuan, yang mayoritas bergantung pada informasi media sosial dan berita lokal, kini menanti klarifikasi resmi dari pihak berwenang. Hingga Minggu pagi ini, 12 Oktober 2025, belum ada konfirmasi dari Kasat Tahti Iptu Aswin Harahap, Kasat Reskrim AKP Hasiholan Naibaho, maupun Kapolres AKBP Wira Prayatna mengenai dugaan penganiayaan atau alasan pembatasan akses penasehat hukum. Ketidakhadiran pernyataan resmi ini, di tengah spekulasi yang merebak, berpotensi memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Para pakar hukum dan HAM menyerukan investigasi independen untuk memastikan transparansi. “Kasus ini harus menjadi momentum untuk merefleksikan bagaimana penegakan hukum bisa melindungi aktivis sejati sekaligus menindak oknum yang menyalahgunakan peran tersebut,” ujar seorang dosen hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara, yang enggan disebut namanya demi keamanan. Sementara itu, kelompok masyarakat sipil di Sumatera Utara mulai mengorganisir petisi daring, menuntut audit internal Polres Padangsidimpuan dan jaminan hak tahanan.
Kota kecil di pesisir Sumatera Utara ini, yang dikenal dengan potensi pariwisatanya, kini dihadapkan pada ujian berat: apakah penegakan hukum akan menjadi alat keadilan atau justru sumber ketidakpastian? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan arah aktivisme sipil di masa depan. Hingga kini, keheningan resmi dari Polres Padangsidimpuan hanya menambah kabut misteri, meninggalkan publik dalam ketegangan yang tak kunjung reda.
Pewarta : Adi Tanjoeng
