
RI News Portal. Medan, 6 Oktober 2025 – Dalam dunia penegakan hukum yang sering kali diuji oleh ambiguitas etika, mutasi jabatan AKBP Yassir Ahmadi dari Kapolres Tapanuli Selatan menjadi Kabag RBP Rorena Polda Sumatera Utara pada Juni lalu kini menjadi sorotan tajam. Mutasi ini, yang diumumkan melalui surat telegram Kapolri Nomor ST/1423/VI/KEP/2025 tanggal 24 Juni 2025, tidak hanya menandai pergeseran karier seorang perwira asal Padangsidimpuan, tetapi juga membuka tabir peranannya dalam dugaan fasilitasi pertemuan yang memicu persepsi negatif terkait kasus korupsi proyek infrastruktur.
Yassir Ahmadi, lahir di Padangsidimpuan pada 25 November 1983 sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Drs. H. Ahmad Syaukani dan Farida Hannum SPd.I, memulai perjalanan kariernya dengan latar belakang pendidikan yang solid. Lulusan SMU 2 Plus Matauli Sibolga tahun 2002 ini melanjutkan ke Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang dan ditempatkan pertama kali di Polda Riau pasca lulus. Kariernya semakin mantap setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di PTIK Jakarta pada 2013. Dukungan penuh dari istrinya, Melinda Maryam, seorang dosen di perguruan tinggi negeri Sumatera Utara, menjadi pilar utama dalam menavigasi tuntutan profesi yang menuntut.
Namun, bayang-bayang kasus korupsi proyek jalan provinsi di Sumatera Utara mulai menyelimuti namanya. Proyek peningkatan ruas Hutaimbaru-Sipiongot di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), yang nilainya mencapai miliaran rupiah, menjadi pusat kontroversi. Pada persidangan di Pengadilan Tipikor Medan tanggal 1 Oktober 2025, Yassir Ahmadi dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan suap yang menjerat Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, M. Akhirun Piliang alias Kirun, dan anaknya, Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang. Di hadapan majelis hakim yang diketuai Khamozaro Waruwu, ia mengakui memfasilitasi tiga pertemuan antara pengusaha Kirun dan mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Ginting. Pertemuan-pertemuan itu, yang berlangsung di kafe dan Hotel Grand City Hall Medan, membahas isu sensitif seperti peninjauan jalan rusak, izin galian C, hingga pembayaran reklamasi.

Hakim Khamozaro tak segan menyoroti tindakan Yassir sebagai bentuk “cawe-cawe” yang tidak selaras dengan tugas seorang Kapolres. “Seorang Kapolres memiliki kehormatan yang harus dijaga, bukan justru mempertemukan pejabat dengan pengusaha,” tegas hakim, menekankan potensi persepsi negatif yang timbul dari intervensi semacam itu. Yassir sendiri membantah menerima imbalan apa pun, bahkan menangis di persidangan sambil bersumpah demi Allah bahwa ia tak pernah menyentuh sepeser pun dari proyek tersebut. Pemeriksaan oleh KPK sebelumnya juga menempatkannya sebagai saksi, meski tak ada dakwaan langsung terhadapnya.
Kasus ini semakin rumit karena keterkaitan dengan mutasi Yassir yang bertepatan dengan gejolak penyidikan KPK terhadap Topan Ginting, yang ditangkap dalam OTT pada 26 Juni 2025 terkait suap senilai Rp4 miliar untuk memenangkan tender proyek jalan senilai Rp165 miliar. Analisis mendalam menunjukkan bahwa pergeseran anggaran proyek ini, yang awalnya tak tercantum di APBD Sumut, dilakukan atas arahan Topan dengan payung Peraturan Gubernur, melibatkan survei bersama Gubernur Bobby Nasution—fakta yang sempat ditampilkan sebagai bukti foto di persidangan. Hal ini memicu kekhawatiran atas integritas proses pengadaan barang dan jasa, di mana pemenang tender sudah diatur sejak awal tanpa mekanisme kompetitif yang transparan.
Baca juga : Pemerintah Kabupaten Tangerang Bentuk Forum Koordinasi untuk Sukseskan Program Makan Bergizi Gratis
Di tengah hiruk-pikuk persidangan, suara dari masyarakat Tapanuli Selatan ikut bergaung melalui Palaon Harahap dari Divisi Kemasyarakatan dan Kemahasiswaan GEMMA PETA INDONESIA. Saat memantau Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Tapsel terkait isu PT TPL pada Senin (6/10), Palaon menilai reaksi solidaritas dari pimpinan pondok pesantren se-Tabagsel sebagai bentuk dukungan atas background keluarga Yassir yang berasal dari lingkungan pesantren. Namun, ia mengingatkan bahwa manusia memiliki dua sisi, seperti Fir’aun yang zalim namun tak lepas dari kebaikan pribadi. Palaon mengajak masyarakat mengawal kasus secara objektif, tanpa “power of opini” yang bisa menyeret nama-nama tak bersalah seperti Topan Ginting atau Bobby Nasution, sambil menyoroti ancaman batalnya proyek akibat penyidikan KPK—padahal infrastruktur jalan di Sipiongot sangat dibutuhkan warga.
Kasus ini bukan hanya ujian bagi Yassir Ahmadi, tapi juga cerminan tantangan lebih luas dalam menjaga integritas institusi kepolisian di tengah tekanan politik dan ekonomi. Dengan proyek pembangunan yang tertunda, masyarakat Sumatera Utara kini menanti keadilan yang tak hanya hukum, tapi juga substantif bagi kesejahteraan mereka. Apakah mutasi ini sekadar rotasi rutin atau langkah preventif? Pertanyaan itu masih menggantung, menunggu vonis akhir dari pengadilan dan refleksi etis dari para penegak hukum.
Pewarta : Indra Saputra
