RI News Portal. Jakarta, 17 November 2025 – Isu dugaan pemalsuan ijazah doktor Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani memasuki babak baru dengan pernyataan tegas dari Bambang Wuryanto, mantan Ketua Komisi III DPR RI yang akrab disapa Bambang Pacul. Sebagai salah satu aktor kunci dalam proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim konstitusi, Pacul menegaskan bahwa pengangkatan Arsul Sani pada 18 Januari 2024 telah memenuhi prinsip legitimasi dan legalitas secara prosedural.
Dalam wawancara eksklusif pada Senin pagi ini, Pacul menjelaskan bahwa selama sesi di Komisi III, Arsul Sani secara langsung mempresentasikan ijazah asli beserta dokumen legalisasi pendukungnya. “Secara asas legitimasi clear. Jelas. Asas legalitas ya clear. Memenuhi syarat. Tetapi tentu tidak pakai forensik, enggak ada,” katanya, menggarisbawahi keterbatasan verifikasi mendalam yang dimiliki lembaga legislatif.
Pernyataan ini merespons laporan yang diajukan Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi ke Bareskrim Polri pada 14 November 2025, yang menyoroti gelar doktor Arsul dari sebuah universitas di Polandia. Pacul menyarankan agar polemik semacam ini ditangani melalui saluran internal MK, khususnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), untuk menekan eskalasi opini publik yang berpotensi mengganggu independensi yudisial.

Dari perspektif ilmu hukum tata negara, proses fit and proper test di DPR memang dirancang untuk menilai kompetensi substantif dan integritas calon hakim MK, bukan sebagai laboratorium forensik. Menurut Pakar Hukum Konstitusi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Zainal Arifin Mochtar, yang dihubungi secara terpisah, “DPR berfokus pada aspek kualifikasi formal dan rekam jejak politik, sementara verifikasi keaslian dokumen mendalam berada di ranah eksekutif atau yudisial internal. Ini mencerminkan pembagian checks and balances, meski rentan terhadap celah jika tidak ada mekanisme lanjutan.”
Pacul menambahkan bahwa absennya pemeriksaan forensik bukanlah kelalaian, melainkan refleksi dari mandat konstitusional DPR yang terbatas pada persetujuan, bukan investigasi kriminal. Ia mendorong MKMK untuk menjadi penjaga gerbang etik, sehingga isu ini tidak menjadi alat politik yang melemahkan kepercayaan publik terhadap MK sebagai penjaga konstitusi.
Sementara itu, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengonfirmasi bahwa pendalaman telah berlangsung sejak isu ini muncul di ruang digital sekitar Oktober 2025. “Kami sedang mencari bukti adanya pelanggaran etik atau tidak. Proses ini tertutup sesuai Peraturan MK untuk menjaga objektivitas,” ujar Palguna, menolak spekulasi lebih lanjut hingga kesimpulan resmi dirilis.
Baca juga : Della Puspita Bantah Henry Pasman Ayah Kandungnya: Ungkap Trajedi Keluarga dan Pengabaian Masa Kecil
Arsul Sani, sebelum bergabung dengan MK, memiliki trajektori karier yang panjang di ranah politik. Ia menjabat sebagai Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari 2016 hingga 2021, anggota DPR RI periode 2014–2024, serta Wakil Ketua MPR RI pada 2019–2024. Pendidikan formalnya dimulai di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diikuti studi lanjutan di Australia, Jepang, Inggris, Skotlandia, dan Polandia. Gelar doktor dari Polandia kini menjadi pusat kontroversi, meski Arsul belum memberikan tanggapan langsung atas laporan terbaru.
Dosen Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, dalam analisisnya menyatakan bahwa kasus ini menyoroti tantangan transisi dari politisi ke hakim konstitusi. “Latar belakang partai sering kali menjadi bahan tudingan, tapi bukti forensik lah yang harus menjadi penentu, bukan narasi publik,” katanya, menekankan pentingnya due process untuk menghindari preseden buruk bagi rekrutmen hakim di masa depan.
Perkembangan ini menunggu hasil MKMK, yang diharapkan memberikan kejelasan tanpa mengorbankan prinsip praduga tak bersalah. Publik diimbau untuk menahan diri dari penilaian prematur, mengingat implikasinya terhadap stabilitas institusi konstitusional nasional.
Pewarta : Albertus Parikesit

